Ada salah satu hadits yang memerintahkan para pemuda untuk segera menikah jika sudah mampu, yakni:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء. متفق عليه
Namun karena dalam teks hadits tersebut tidak dijelaskan arti kata “Ba-ah/mampu”, sehingga kita masih bertanya-tanya apa yang dimaksud “mampu” dalam hadits tersebut? Berikut penjelasannya dari kitab-kitab syarah hadits dan fiqih.
Dalam kitab Subul as-Salam juz 3 halaman 109 dan al-Bajuri juz 2 halaman 92 dikatakan maksud “mampu” dalam nikah adalah mampu untuk membayar mahar yang kontan dan menafkahi istri pada hari pernikahan dan malam harinya.
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata mampu (Ba-ah) dalam hadits tersebut. Pendapat pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud Ba-ah di sini adalah makna secara bahasa, yaitu jimak/senggama.
Jadi bunyi hadits tersebut menjadi, “Barangsiapa diantara kalian telah mampu berjimak, hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu berjimak, hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwat dan air maninya, sebagaimana tameng yang menahan serangan”.
Jika yang dimaksud Ba-ah adalah jimak, maka objek dari hadits tersebut adalah para pemuda yang memiliki hasrat yang besar terhadap lawan jenisnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud Ba-ah adalah kemampuan seseorang untuk memberikan nafkah dan keperluan pernikahan. Jadi, bunyi haditsnya menjadi, “Barangsiapa diantara kalian telah mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwatnya”.
Hal ini diterangkan pula dalam kitab al-Minhaj Syarh Shahih Muslim juz 9 halaman 173. Adapun dalam kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram bab Nikah halaman 214 menjelaskan kata Ba-ah secara bahasa berarti jimak, kemudian dipakai untuk menyatakan akad nikah dari mahar dan nafkah.