Semarang, Rilis Media_NU Tegal-
Akhir-akhir ini banyak terjadi peristiwa buruk mencuat dari pondok pesantren. Diantaranya kekerasan seksual pada santri putri. Namun perhatian publik cenderung kepada pelaku. Pelaku dihujat, pemerintah turun tangan, norma hukum ditegakkan. Ketika pelaku dijatuhi hukuman berat, masyarakat merasa sudah puas.
Padahal yang harus lebih diperhatikan adalah korbannya. Si korban sudah pasti menjadi terganggu kegiatan belajarnya, kacau jadwal ngajinya. Juga menderita tekanan batin alias trauma kejiwaan yang sangat berat.
Pemerintah maupun LSM, sangat terbatas aksesnya memberi advokasi. Satu-satunya pihak yang paling dekat pada masalah tersebut dalam lingkungan tinggal korban yakni pondok pesantren adalah Ibu Nyai. Pengasuh pesantren putri inilah yang kemudian hadir untuk berusaha mengatasi masalah tersebut sebagai seorang ibu yang berjuang selama dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu untuk anak-anaknya dalam hal ini santri-santri putrinya.
Para pengasuh pesantren putri (disebut Bu Nyai) dalam naungan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI), yaitu lembaga NU yang mengurusi Asosisasi Pondok Pesantren, akan membahas segala persoalan pesantren putri dan peran Bu Nyai sebagai ulama perempuan dalam acara Silaturahim Nasional Ketiga (Silatnas III) Bu Nyai Nusantara, di Hotel Patra Semarang, besok Senin hingga Selasa (7-8/11/2022).
Wakil Ketua Panitia Silatnas III Bu Nyai Nusantara, Nyai Hajjah Royannach Ahal mengatakan, tanggungjawab mengasuh santri putri jauh lebih berat dari santri putra. Santri putri, ujar Pengasuh Ponpes Putri Permata, Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah ini, punya masalah lebih banyak, dan penanganannya lebih sulit daripada santri putra.
Bu Nyai asal pondok pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon Jabar yang yang akrab dipanggil ning Yannah ini memberi contoh. Ketika terkena perundungan (_bulliying_), butuh waktu lama menyembuhkan trauma korbannya.
“Kalo santri putra, ada yang diejek sampai berkelahi, mudah selesai rukun kembali. Sedangkan santri putri, diejek temannya, bisa ngambek tak mau mengaji berhari-hari bahkan memutuskan keluar dari pondok pesantren,” tutur istri Kiai Mujibur Rachman Ma’mun Kajen, Pati ini.
Dia lanjutkan, terkadang ditemukan santri putri melanggar aturan atau nakal misalnya, mengatasinya tidaklah mudah. Bisa tidak mempan _ditakzir_ (diberi sanksi oleh pengurus). Harus memakai pendekatan khusus yang hanya bisa dilakukan oleh wanita kepada wanita, ibu kepada putrinya.
“Santri putri bermasalah di pondok, kerapkali setelah ditelusuri sumber masalah awalnya dari rumah, karena bapak dan ibunya tidak rukun atau _broken home_ begitu, disitulah kemudian bu nyai ikut serta berperan mengisi kekosongan tsb untuk santri putri yang merasa kehilangan kasih sayang orang tuanya” tutur Yannah usai rapat panitia panitia silatnas 3 Bu nyai nusantara di hotel pandan aran di Semarang, Jum’at, (4/11/2022).
Dia beberkan, Silatnas III ini juga akan dimeriahkan pameran produk usaha kecil baik berupa makanan, minuman , desain pakaian muslimah dan jilbab hasil karya para pengasih perempuan pesantren atau para Ibu Nyai.
Dari bazar dan ekshebishon perempuan pesantren tersebut diharapkan akan menjadi awal yang baik sehingga terjalin program berkelanjutan bagi ekonomi kreatif mandiri perempuan pesantren dibawah naungan RMI NU, sehingga itu dianggap bagian penting untuk penguatan ekonomi kreatif yang perlu dibahas dalam salah satu Halaqoh yang ada dalam rangkaian acara silatnas 3 Bu nyai nusantara. ***