Semarang_NU Tegal-
Saat ini jumlah santri putri di pondok pesantren lebih banyak daripada santri putra. Prosentasenya 60 persen. Hal itu seiring meningkatnya minat par orang tua memasukkan anak ke pondok pesantren. Juga karena kiprah Ibu Nyai (sebutan untuk pengasuh Ponpes Putri yang merupakan istri Kiai) semakin besar dalam kehidupan masyarakat.
Karena itulah peran Ibu Nyai semakin penting. Karena tanggungjawab terbesar di pondok pesantren putri adalah Ibu Nyai. Sedangkan Bapak Kiai “tidak masuk” ke pondok putri.
Maka sudah tepat para Ibu Nyai bertemu membahas hal-hal penting tentang hajat pondok pesantren putri, dalam acara Silaturahim Nasional Ke-3 (Silatnas III) yang dihelat di Semarang pada Senin hingga Selasa, (7-8/11/2022).
Demikian disampaikan Wakil Ketua Rabithah Maahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) KH Hodri Arief dalam sambutan di acara Pembukaan Silatnas III Bu Nyai Nusantara di Hotel Patra Semarang, Senin, (7/11/2022).
Silatnas III Bu Nyai Nusantara dihadiri oleh 350 Ibu Nyai dan 30 Ibu Nyai Khos (sepuh) dari seluruh Indonesia. Acara pembukan dihadiri oleh Wakil Gubernur Jateng KH Taj Yasin, Katib Syuriyah PWNU Jateng KH Munir Abdul Muchit, dan Rektor UIN Walisongo Prof Dr KH Imam Taufiq. Hadir pula Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Luthfi, Ketua Majelis Masyayikh Pesantren Indonesia KH Abdul Ghofar Rozin, dan Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa.
“Peran Ibu Nyai semakin meningkat dan semakin penting. Silatnas ini sangat perlu membahas berbagai ihwal tekait pondok pesantren. Termasuk ihwal ekonomi, pendidikan, dan juga perlu membicarakan politik dalam isu peradaban,” ujar Kiai Hodri Arief.
Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa dalam sambutannya menyampaikan, gerakan perempuan sejatinya bukan hal baru dalam Islam. Dia sebutkan, istri Rasulullah adalah contoh pertama kiprah perempuan dalam dakwah dan pendidikan. Baghkan menjadi penyokong utama risalah Kenabian dan pewarisan ilmu kepada umat Nabi.
“Sayyidatina Khodijah istri Rasulullah, kita tahu, adalah sosok perempuan yang pertama beriman dan selalu menduung dakwah Rasulullah semasa hidupnya. Lalu ada Siti Aisyah yang banyak meriwayatkan hadis,” tutur Kiai Zula yang selalu tampil dengan ciri khasnya membacakan syair berbahsa Arab karyanya sendiri.
Dilanjutkan kiai asal Banten yang pernah mondok di Pesantren Kajen, Pati, ini, peran Bu Nyai di Nusantara sudah menonjol sejak abad ke-19. Dia jelaskan, ketika proses menulis kitab tentang jaringan sanad ulama Nusantara, ulama poros nusantara, Syaikh Nawawi Al-Bantani pernah belajar pada Bu Nyai. Yaitu Nyai Fatimah binti Syaikh Abdussad Al-Falembangi.
“Syaikh Nawawi mendapatkam sanad ilmu dari Syaikh Abdussomad Al-Falembangi. Beliau juga berguru pada putri gurunya itu yang bernama Nyai Fatimah,” bebernya.
Kiai Zulfa melanjutkan, Raden Ajeng Kartini pantas disebut sebagi sosok teladan bagi Bu Nyai. Bagi para santri putri. Karena Kartini menjadi santri yang tuhu dan sangat semangat mengembangkan ilmu. Terbukti dia mendirikan sekolah untuk kaum putri.
Yang istimewa, kata dia, Kartinilah yang memohon, mendorong gurunya, Syaikh Muhammad Sholeh bin Umar alias Mbah Sholeh Darat menulis terjemah tafsir Al-Qur’an. Terjemahan tafsir karya Mbah Sholeh Darat, adalah karya penerjemahan Al-Qur’an pertama dalam bahasa Jawa. Sehingga dari peran Kartini itulah, orang Jawa termasuk kaum wanita, bisa mengerti arti dan makna Al-Qur’an.
“Kartini patut kita kenang jasanya. Beliau pembentuk peradaban belajar khususnya kaum wanita,” tandas santri (alm) Kiai Sahal Mahfud ini.
Lebih lanjut dia lanjutkan, ada tokoh ulama perempuan lain yaitu Nyai Arnah santrinya Syaikh Nawawi Al-Bantani. Nyai Arnah asal Cimanuk, Pandeglang, Banten, mengajarkan tafsir Al-Qur’an di masa masih sepi ulama perempuan mengajar tafsir. Lalu, dari Bandung ada Nyai Maryam yang membuka semacam pesantren kecil di Makkah dengan santri laki-laki.
“Kala itu, santri-santri dari Jawa kalau datang ke Makah, ngajinya sama Nyai Maryam dan Nyai Arnah,” terangnya.
Di tempat sama, Wakil Gubernur Jateng KH Taj Yasin mengatakan, berkumpulnya para Ibu Nyai merupakan energi positif bagi pemerintah dan warga masyarakat Jawa Tengah. Dia meminta para Ibu Nyai tidak hanya mengajar di dalam pondok pesantren. Tetapi perlu membuka ruang baik faktual maupun digital untuk menerima pertanyaan dari masyarakat. Terutama ibu-ibu dan remaja putri.
“Para Ibu Nyai perlu membuka ruang untuk menerima pertanyaan dari umat. Contoh saya lihat di ajang Car Free Day tiap Ahad pagi di Simpang Lima Semarang, Remaja Masjid Raya Baiturrahman Semarang membuka layanan konsultasi. Ternyata banyak sekali ibu-ibu dan remaja putri bertanya tentang hukum agama. Tentang syariat, ibadah dan sebagainya,” tutur putra (alm) Kiai Maimoen Zubair tersebut.
Tentang jumlah santri putri yang mencapai 60%, Gus Yasin menyebut peningkatan itu karena peran Bu Nyai dan Ning (puteri kiai).
“Saya yakin orang-orang datang ke pesantren karena kedekatan dengan bu nyai sehingga pondok pesantren putri jumlahnya meningkat,” ucapnya. ***
Pewarta : M. Ichwan