Kita pada malam hari ini menyumbang kebanggaan yang sangat luar biasa dan sungguh tak bisa dinilai dengan harta. Karena al-ukhuwwah adalah di atas segala-galanya. Dan ukhuwah tersebut menjadi tulang punggung kekuatan bangsa. Kekuatan Negara tergantung pada persatuan dan kesatuan.
“Di dalam bangsa Indonesia ini ada dua macam persaudaraan. Pertama, saudara seagama-setanah air. Dan yang kedua saudara sebangsa-setanah air,” terang Habib Luthfi bin Yahya mengawali ceramahnya dalam acara “Istighotsah Kubro untuk Keselamatan Bangsa Indonesia; Merajut Kebersamaan dalam Kebhinnekaan” di Gedung Junaid Buaran Pekalongan, Jum’at malam Sabtu 25 November 2016.
Lanjut maulana Habib Luthfi, apapun perbedaannya tidak akan bisa membedakan ke-Indonesia-annya. Be
da alirannya tidak akan bisa membedakan ke-Jawa-annya. Indonesia adalah Indonesia. Jawa adalah Jawa. Meliputi pulau-pulau yang ada di Indonesia mulai Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Jawa ini dimana saudara-saudaraku berada.
“Bila mau kita melihat, sulit untuk kita temukan di negara lain yang bisa mengadakan pertemuan seperti ini. Hanya ada di Indonesia tercinta,” tutur Habib Luthfi yang disambut dengan riuhan tepuk tangan para hadirin.
Pada waktu Muktamar kemarin ada seorang tokoh mahasiswa, P
rof. Dr. Abdul Aziz al-Idrisi, mengundang saya ke Maroko. Hanya karena satu pertanyaan yang tidak muluk-muluk, “Habib, berilah kami konsep bagaimana cara seperti di Indonesia. Kami kagum ulama bisa duduk dengan TNI, ulama bisa duduk dengan Polri, masyarakat bisa duduk dengan bintang satu dan bintang dua, dlsb. Saya tidak bisa berbicara, itu apa resepnya? Tolong ajarkan kami untuk di Negara kami.” Itu luar biasa, karena beliau tidak habis mengagumi apalagi saat berlangsungnya Konferensi Internasional Bela Negara.
Habib Luthfi melanjutka
n, dan isnyaAllah bulan Maret saya dipanggil di Turki, dinanti para para ulama internasional, oleh Prof. Dr. asy-Sayyid Muhammad Warats. Untuk mewakili Indonesia sebagai keynote speaker (pembicara inti) di dalam al-Ukhuwwah al-Islamiyyah. Berarti, Indonesia telah disorot oleh dunia internasional mendapatkan satu nilai kepercayaan yang luar biasa. Namun, sulitnya ketika menjaga kepercayaan tersebut, tidak semudah yang kami bayangkan. Secara teori memang mudah, tapi praktiknya bisa “ngewongake wong” (memanusiakan manusia) itu sulit.
Ketika seseorang mengerti terimakasih, memang mudah u
ntuk mengucapkan terimakasih, tapi mampukah terimakasih itu menjadi bekal kehidupan kita dibawa untuk kehidupan kita sehari-sehari yang menunjukan orang yang mengerti terimakasih. Tidak usah jauh-jauh, generasi muda-mudi kita adalah patriot-patriot Indonesia, di pundak kalian Indonesia akan mundur atau akan maju, di pundak kalian NKRI akan semakin kokoh atau tidak. Mohon jangan kecewakan para beliau yang sudah dimakamkan di makam pahlawan maupun para pahlawan yang di luar makam pahlawan, seperti para ulama, yang ikut andil besar di dalam memerdekakan bangsa ini dari belenggu kebodohan dan penjajahan.
Seandainya kami mempunyai gu
nung emas untuk membalas jasa para beliau, belum bisa (membalas jasanya). Kami terkadang berpikir, kalau saya bisa bertanya pada ahli barzakh (ahli kubur) dimana lebih banyak pahlawan yang tak dikenal daripada yang dikenal, “Wahai para pahlawanku yang kubanggakan, bagaimana keberadaanmu sekarang ini menghadapi generasi penerus setelah 1945?”
Mungkin para beliau hanya akan menjawab dengan tetesan air mata, seraya berkata, “Apakah kalian akan mengecewakanku di hadapan Allah Swt.? Malu saya rasanya melihat kalian-kalian ini, koq Negara bisa begini. Padahal aku taruhkan nyawaku, keluargaku, istriku tercinta, dan aku pertaruhkan anak-istriku, aku tinggalkan keluarga serta hartaku, hanya untuk kalian! Apakah ini pembalasannya!? Wahai bangsaku, jangan kau permalukanku di hadapan Yang Maha Kuasa!” Ini bagi yang mengerti, apa terimakasih kita?
Saya tidak mau berbicara Jakarta, tapi saya ingin berbicara Indonesia yang lebih besar. Keutuhan bangsa ini, keutuhan Negara ini, di pundak kami semuanya. Dan kami bertanggungjawab, mau tidak mau!
Terimakasih kepada dua ora
ngtua. Saya lihat di daerah Peninggaran, Kalibening, jam 3 pagi, dingin, lembab, harus sudah keluar. Terkadang ikut di atas truk (mobil terbuka) yang isinya sayur-sayuran. Belum lagi anginnya yang kencang. Ibu-ibu yang ikut andil terkadang. Lalu terkadang saya hanya bisa bertanya, “Bapak/Ibu, nanti masuk angin.”
Jawab mereka, “Bib/Pak/Mas, kalau tidak untuk anak-anak saya ya malas beginian. Saya sudah terlanjur bodoh Bib, sekolah gak nyampai. Harapan kami hanya ingin mempunyai anak yang menjadi ulama, TNI, Polri, dokter, ahli pertanian, dlsb. Itulah harapan dan kebanggaan kami selaku orangtua.”
Apalagi kalau kita lihat di daerah Ciledug, Kuningan, Cilimus, kalau sudah setengah tiga atau dua (pagi) sudah berduyun-duyun. Berat di kepalanya berisi bawaan barang dagangan. Berangkat ke pasar dengan obornya. Dia turun dari gunung. Kalau sudah mulai musim kemarau, para bapak kita kelihatan pagi-pagi sudah keluar mengayuh becaknya. Terkadang belum sarapan, hanya minum segelas teh sisa malam hari dan rokok tegesan (putung/sisa rokok). Dia kayuh becaknya hingga 2,5 Km, hanya untuk keluarganya. Bapak-bapak kita termulia dan terhormat, daripada tangan di bawah dia memilih berpeluh keringat demi untuk anak-anaknya. Suatu pekerjaan yang kelihatannya berat dan kasar tapi sangat terhormat, hanya untuk anak-cucunya. Apa balasan kita kepada beliau? Coba kita berpikir.
Begitulah perjuangan para sesepuh kita. Malu rasanya orangtua hidup masih bercerai-berai tidak akur satu sama yang lain. Apalagi kalau orangtua kita itu sudah di alam baka, apa yang ia dengarkan seharusnya ukhuwah, rukun, kompak, saling mengisi, saling menasihati, bukan saling mencerca dan saling memojokkan. Nangis di alam kuburnya melihat generasi penerus dan keturunannya, baik dari kalangan ulama maupun pejuang. Apa terimakasih kita kepada para beliau?
(*Ibj).