Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meninggalkan banyak cerita selama masa kepemimpinannya. Satu hal yang paling diingat adalah ketika Presiden ke-4 RI itu mengakomodasi perayaan tahun baru China atau Imlek menjadi hari libur nasional.
Karena langkah berani itu Gus Dur pun mendapat julukan baru, “Bapak Kaum Minoritas” Indonesia.
Tak hanya itu, Gus Dur adalah satu-satunya Presiden RI yang dijatuhkan saat masih berkuasa. Cucu pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari harus melepas jabatannya setelah MPR menggelar sidang istimewa pada Juli 2001.
Meski menimbulkan banyak kontroversi semasa hidupnya, tetapi Gus Dur selalu dikenang dan dirindukan.
Berikut sosok Gus Dur sebagai pemimpin dan ulama seperti dikisahkan asisten pribadinya yang juga seorang budayawan dan agamawan, Dr. Ngatawi Al Zastrouw:
Saya lupa hari dan tanggalnya, yang jelas peristiwa ini terjadi beberapa hari setelah peristiwa kerusuhan Jakarta yang menjadi tonggak terjadinya reformasi.
Saat itu, malam telah larut, beberapa tamu telah meninggalkan rumah Ciganjur. Di ruang tamu tinggal saya, Gus Dur, dan Mas Fajrul Falah (almarhum), yang waktu itu kebetulan sedang menginap di Ciganjur.
Kebiasaan menjelang tidur, Gus Dur selalu bercerita beberapa hal kepada kami, semacam review kecil atas informasi dan peristiwa yang terjadi. Selain untuk dianalisa, hal ini juga untuk mempersiapkan langkah jika ada yang perlu segera direspons esok harinya.
Seperti yang terjadi malam itu, tiba-tiba Gus Dur bilang, “Tro besok kita datang ke Cendana ketemu Pak Harto.”
Mendengar pernyataan Gus Dur, saya dan Mas Fajrul seketika kaget. “Ngapain ke sana Gus?” tanyaku spontan. Kemudian mas Fajrul menimpali, ‘wah bahaya Pak Dur kalau situasi seperti ini kita dekat-dekat Soeharto”.
Gus Dur merespons dengan cuek kekhawatiran kami. “Bahaya opo, kayak mau perang aja?” Demikian jawabnya dengan mimik wajah yang tetap cuek.
Melihat sikap Gus Dur yang cuek bebek, kami semakin khawatir dan penasaran. “Kalau bisa mbok tidak usah ketemu Pak Harto dulu, Gus. Suasana lagi tegang dan semua orang lagi memusuhi Pak Harto. Nanti njenengan ikut dimusuhi,” demikian ujar saya sok tahu.
Mas Fajrul juga punya kekhawatiran yang sama. Selanjutnya, dia memberikan analisa panjang lebar atas situasi yang terjadi.
Menurut Mas Fajrul, situasi sosial politik yang ada akan sangat tidak menguntungkan untuk bertemu Pak Harto. Pertama, Gus Dur bisa dianggap pengkhianat dan penghambat reformasi karena mendekati Pak Harto, yang dianggap musuh reformasi.
Kedua, Gus Dur akan dianggap melakukan deal politik yang menguntungkan diri dan kelompoknya saja, dengan mengorbankan proses reformasi. Artinya, Gus Dur akan dianggap mencuri di tikungan untuk memperoleh keuntungan politik.
Ketiga, yang menurut Mas Fajrul paling berbahaya, Gus Dur akan kehilangan popularitas dan dukungan massa karena dianggap berpihak pada Pak Harto.
Dalam suasana tegang yang sensitif seperti ini, apa yang dilakukan Gus Dur akan dimanfaatkan oleh lawan-lawan politik untuk menghancurkan reputasinya. Paling tidak, kalau bahasa sekarang Gus Dur akan di-bully habis oleh lawan politik.
Setelah melihat kepanikan dan keseriusan kami dalam berargumentasi, akhirnya Gus Dur mulai ikut serius. “Begini ya, ini keadaan sudah sangat kacau, kesatuan bangsa terancam, masak kita masih memikirkan soal popularitas pribadi,” jawab Gus Dur tenang, namun membuat kami terhenyak.
“Saya tidak peduli mau popularitas saya hancur, difitnah, dicaci maki atau dituduh apapun, tapi bangsa dan negara ini harus diselamatkan dari perpecahan,” tandas Gus Dur.
Mendengar suara Gus Dur yang makin meninggi, saya dan Mas Fajrul terdiam. Beberapa saat hening, kemudian Gus Dur kembali bicara dengan intonasi yang menurun.
“Begini ya, kita tidak bisa membiarkan rakyat larut dalam emosi dan terbakar api kebencian. Kalau dibiarkan ini bisa membakar seluruh rumah kebangsaan kita. Rakyat harus didik dan disadarkan meski untuk itu harus melawan arus deras emosi massa, dengan risiko kita digilas, dicaci maki, dan dihina hingga kehilangan popularitas dan ditinggalkan massa. Keadaan ini harus dihentikan, karena sudah melampaui batas-batas kepantasan dan toleransi. Ini harus dihentikan,” kata Gus Dur.
Kembali kami terdiam, hening dan senyap. “Jadi pemimpin itu tidak gampang, harus berani melawan kehendak massa jika tindakan dan sikap mereka sudah melampaui batas-batas yang bisa membahayakan bangsa dan negara. Seorang pemimpin tidak boleh membiarkan umat terperosok dalam tindakan yang membawa kerusakan, hanya karena takut kehilangan popularitas dan dukungan massa,” ujar Gus Dur lagi.
Kata-kata Gus Dur makin menggerus perasaan kami, seperti air hujan menggerus tanah gundul di tebing yang miring.
“Bertahun-tahun saya musuhan dengan Pak Harto, tapi itu soal pemikiran dalam mengelola negara, bukan soal pribadi. Ketika Pak Harto di-kuyo-kuyo melampaui batas, hingga menghancurkan harkat dan martabatnya sebagai manusia, kita harus membelanya dan mencegah tindakan rakyat yang sudah melampaui batas. Ini bukan soal pribadi Pak Harto, tapi soal menjaga keutuhan bangsa. Karena itu, saya besok akan tetap datang menemui Pak Harto,” tegas Gus Dur.
Malam itu aku mendapat pelajaran dan wejangan berharga mengenai pemimpin melalui laku hidup seorang Gus Dur. Sangat jelas terlihat di sini, pemimpin bukan pesohor yang mempertahankan popularitas diri di depan umat dengan memanfaatkan euphoria dan emosi massa.
Jika pemimpin bangsa diperlukan sikap yang penuh kearifan dan kebesaran jiwa, apalagi menjadi ulama yang memiliki otoritas dalam memanfaatkan teks suci dan berbicara atas nama Tuhan.
Suatu “senjata suci” yang tidak boleh digunakan sembarangan. Karena kalau digunakan sembarangan, dan tanpa mengindahkan batas-batas kepantasan dan situasi, maka akan bisa menjadi sumber bencana yang daya rusaknya sangat dahsyat.
Itulah sebabnya Gus Dur sangat berhati-hati dalam mengutip dan menggunakan ayat, termasuk dalam memaknai dan menafsirkannya.
Pemimpin bukanlah orang-orang yang hanya bisa menggerakkan massa atas nama kebenaran, dengan meneriakkan ayat-ayat suci. Mengikuti persepsi dan kemauan massa, sekalipun mengancam keutuhan bangsa dan merusak kehidupan.
Pemimpin adalah orang-orang yang berani mempertaruhkan apapun yang ada pada dirinya demi kemaslahatan dan mencegah kerusakan. Pemimpin adalah mereka yang tidak hanyut dalam euphoria massa, tetapi mampu mendidik dan mencerdaskan rakyat yang larut dalam emosi dan kebencian.
Bisa mengerti dan memahami batas terjauh dalam melakukan gerakan agar tidak menimbulkan kerusakan, meskipun yang diperjuangkan adalah suatu kebenaran yang diyakini.
Dengan demikian dia mampu menentukan pada titik mana suatu gerakan harus berhenti demi menjaga kemaslahatan, bukan terus melakukan provokasi tanpa henti hingga memancing kegaduhan yang terus menerus.
Di sini, kita bisa melihat secara jelas seorang ulama, pemimpin, dan para pesohor yang takut kehilangan popularitas diri di hadapan massa, serta para pecundang yang selalu memanfaatkan massa dengan mengatasnamakan apa saja demi keuntungan pribadi.
Dalam suasana yang makin makin gaduh dan penuh ketegangan seperti sekarang ini, saya makin rindu pada sosok Gus Dur.
Ketika pemimpin umat terus memprovokasi dan membakar emosi umat atas nama kebenaran yang mereka yakini, tanpa memikirkan risiko dan dampak yang ditimbulkan. Ketika keutuhan bangsa dan kedaulatan negara didudukkan di bawah kebenaran subyektif massa atas nama agama.
Ketika popularitas diri dan jumlah massa pendukung lebih dipentingkan daripada kebaikan bersama semua warga bangsa. Ketika para ulama sudah berperilaku seperti pesohor, ketika ulama tersingkirkan oleh para pecundang, maka sesungguhnya bangsa ini telah mengalami degradasi dan krisis kepemimpinan yang akut.
(Tulisan diambil dari liputan6 dan dipublikasikan atas izin Dr. Ngatawi Al Zastrouw. Disebutkan, dialog itu berlangsung awal Juni 1998 atau 10 hari setelah Soeharto lengser)