Dalam kajiah fikih, sebelum menetapkan hukum atas suatu masalah, harus terlebih dulu mengetahui dan memahami secara rinci tentang masalah yang dimaksud. Kegiatan proses ini disebut tashawwur al-mas’alah. Hal itu sesuai dengan kaidah
الحكم على الشيء فرع عن تصوره
Tanpa proses tashawwur ini, proses berikutnya yakni penetapan hukum, tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Oni Sahroni, seorang doktor bidang fiqih muqarin lulusan Al-Azhar pertama dari Indonesia.
Menurutnya, sejalan dengan hal diatas, maka untuk menetapkan apakah hukum GoPay termasuk riba atau tidak, kita terlebih dulu harus mengetahui secara detail bagaimana sistematika GoPay yang dijalankan oleh perusahaan Gojek. Merujuk pada dokumen ‘Syarat dan Ketentuan GoPay’ sebagaimana tertera dalam laman http://www.go-pay.co(dot)id/terms, dijelaskan bahwa:
- Pihak yang bertransaksi dalam aplikasi GoPay adalah customer dan perusahaan (dalam hal ini adalah GoJek).
- Customer tidak memiliki rekening dalam arti rekening Bank. Nasabah hanya memiliki ‘rekening’ di aplikasi Gojek. Mirip dengan deposit di e-money.
- Customer bertransaksi langsung dengan gojek dengan mendeposit sejumlang dana tertentu di go-pay untuk pembayaran atas jasa gojek yg akan dimanfaatkannya.
- Gojek memberikan discount tertentu kepada customer sebagai pengguna go-pay.
Berdasarkan gambaran tersebut, maka bisa diidentifikasi bahwa substansi transaksinya adalah jual beli jasa untuk manfaat yang akan diserah terimakan dengan discount tertentu bagi pengguna. Substansi akad GoPay bukan utang/pinjaman, tetapi jual beli jasa. Deposit itu sebagai upah yang dibayarkan di muka. Juga customer tidak bermuamalah dengan bank tetapi dengan pihak gojek seperti halnya e-money.
Dengan demikian, maka skema GoPay ini masuk dalam kategori ijarah maushufah fi dzimmah (IMFD). Ujrah (fee) dibayar dimuka, manfaat dibayar setelahnya. Karena akadnya IMFD, kebijakan pemberikan discount merupakan hak pihak yang menyewakan jasa (gojek) untuk sebagai athaya dan pemberian yang dibolehkan oleh syara.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam standar Internasional Accounting and Auditing Organizations for Islamic Financial Institutions (AAOIFI):
يجوز أن تقع الإجارة على موصوف في الذمّة وصفا منضبطا ولو لم يكن مملوكا للمؤجّر (الإجارة الموصوفة في الذمة) حيث يتّفق على تسليم العين الموصوفة في موعد سريان العقد. ويراعى في ذلك إمكان تملّك المؤحر لها أو صنعها. ولا يشترط فيها تعجيل الإجرة ما لم تكن بلفظ السّلم أو السّلف. وإذا سلّم المؤجر غير ما تمّ وصفه فللمستأجر رفضه وطلب ما تتحقّق فيه المواصفات.
“Akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah boleh dilakukan dengan syarat kriteria barang sewa dapat terukur meskipun obyek tersebut belum menjadi milik pemberi sewa (pada saat ijab-qabul dilakukan); waktu penyerahan barang sewa disepakati pada saat akad, barang sewa tersebut harus diyakini dapat menjadi milik pemberi sewa baik dengan cara memperolehnya dari pihak lain maupun membuatnya sendiri; tidak disyaratkan pembayaran ujrah didahulukan (dilakukan pada saat akad) selama ijab-qabul yang dilakukan tidak menggunakan kata salam atau salaf; apabila barang sewa diterima penyewa tidak sesuai dengan kriteria yang disepakati, pihak penyewa berhak menolak dan meminta gantinya yang sesuai dengan kriteria yang disepakati pada saat akad.
Dengan demikian, keikut sertaan costumer dalam GoPay diperbolehkan menurut fikih. Sebab skema akad antara costumer dengan go-pay adalah akad ijarah maushufah fi dzimmah dan memenuhi “….syarat kriteria barang sewa dapat terukur meskipun obyek tersebut belum menjadi milik pemberi sewa (pada saat ijab-qabul dilakukan)….”. Jadi pembayaran GoPay yang dilakukan sebelum akad tidak menjadi masalah sebab masuk dalam kategori al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah.
Sedangkan penyimpanan di bank itu dilakukan oleh perusahaan transportasi online sebagai deposan karena rekeningnya adalah rekening perusahaan tersebut. Wallahu ‘alam
Sumber: jendela dakwah