Bagi seorang wanita yang belum menikah maka orang tua lebih berhak untuk ditaati. Namun ketika ia telah menikah maka taat kepada suami merupakan kewajiban yang lebih diutamakan melebihi orang tuanya. Ketaatan yang dimaksud di sini tentu saja bukan hal yang berhubungan dengan perkara maksiat. Sebagaimana sabda Nabi:
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Bukhari no. 6830, Muslim no. 1840 dan Nasai no. 4205).
Apabila ketaatan kepada suami berseberangan dengan ketaatan kepada orang tua, maka bagi seorang wanita (istri) muslimah wajib mendahulukan ketaatan kepada suaminya. Imam Ahmad berkata tentang wanita yang memiliki suami dan seorang ibu yang sedang sakit, “Ketaatan kepada suaminya lebih wajib atas dirinya daripada mengurusi ibunya, kecuali jika suaminya mengizinkannya.”
Seorang wanita tidak boleh mentaati kedua orang tuanya untuk berpisah dengan suaminya, tidak pula mengunjunginya dan semisalnya. Bahkan ketaatan kepada suaminya lebih wajib. Kewajiban seorang istri untuk mentaati suaminya sangat tegas dinyatakan dalam agama Islam. Hal ini tertuang dalam sabda Rasulullah Saw.:
عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها
“Andai boleh kuperintahkan seseorang untuk bersujud kepada yang lain tentu kuperintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi no. 1159).
Adapun bagi si suami, jelas dia harus mengutamakan orang tuanya terutama ibu. Berdasarkan hadits riwayat Imam Ahmad dan Imam Nasai serta disahihkan oleh Imam Hakim:
سألت النبي صلى الله عليه وسلم أي الناس أعظم حقا على المرأة قال زوجها قلت فعلى الرجل قال أمه
Dari Aisyah Ra., “Saya pernah bertanya kepada Nabi Saw. siapakah yang paling besar haknya terhadap seorang wanita?” Beliau Saw. menjawab, “Suaminya.” Aku bertanya lagi, “Dan terhadap lelaki?” Beliau Saw. menjawab, “Ibunya.”
Referensi: Syarh Muntaha al-Iradat juz 3 hal. 47, al-Inshaf juz 8 hal. 362, Tuhfat al-Ahwadzi juz 4 hal. 271, Fath al-Bari juz 10 hal. 401 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah juz 19 hal. 109-110).