Tegal_NU Tegal- Jajaran Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Tegal menggelar diskusi ilmiah bertajuk Ngaji Peradaban dengan tema Geneologi Keilmuan Para Wali, Kiai dan Santri. Kegiatan tersebut bertempat di Pendopo Pondok Pesantren NU Kota Tegal di Pesurungan Lor, Sabtu (9/11).
Narasumber yang dihadirkan dalam kegiatan tersebut adalah Kyai Nur Khalik Ridwan dari Yogyakarta dan Rektor Institut Bhakti Negara (IBN) Slawi Dr. Saefudin, MA. Kedua narasumber menyampaikan materi tentang perkembangan ilmu keislaman di tanah Jawa dengan perspektif yang beragam.
Ketua Tanfidiyah PCNU Kota Tegal dr. Muslih Dahlan, M.Kes dalam sambutan pembuka acara tersebut menyampaikan bahwa kegiatan Ngaji Peradaban ini diselenggarakan sebagai salah satu rangkaian Hari Santri Nasional (HSN) 2024.
“Peringatan Hari Santri Nasional ini layak kita jadikan pengingat untuk menggugah kesadaran sejarah dan juga kesadaran intelektual tentang ketersambungan keilmuan para ulama Nusantara, khususnya kyai-kyai pendiri NU. Secara historis para ulama NU tercatat sebagai ahli ilmu dan sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia,” ungkap dr. Muslih.
Ditambahkan dia, kesadaran untuk menggali spirit keilmuan keislaman para pendiri NU itu harus selalu digelorakan di kalangan generasi muda NU. “Generasi muda NU harus bisa berkiprah dalam gerakan memajukan kehidupan kebangsaan melalui kesadaran sejarah dan kesadaran keilmuan,” imbuhnya.
Pada sesi diskusi, Kyai Nur Khalik Ridwan memaparkan panjang lebar tentang alur perjalanan penyebaran ajaran Islam di Nusantara. Ia membagi alur itu dari mulai masa sebelum Walisongo (sebelum 1400 M), kemudian masa Walisongo dan Demak-Pajang (1400-1500 M) dan selanjutnya masa Mataram-Banten-Cirebon dan VOC (setelah 1600 M).
“Sayangnya penulis sejarah keislaman di kalangan pesantren jumlahnya masih terbatas. Masih lebih banyak yang menjadi penulis sejarah NU,” sebut Kyai Nur Khalik.
Saat ini, menurut dia, berkembang apa yang disebut gerakan pemurnian Jawa, yaitu upaya untuk memisahkan Jawa dari Islam. Padahal, para penyebar Islam di masa-masa awal telah membuat Jawa dan Islam itu seperti daging dan darah, menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan.
Generasi baru hampir tidak memahami spirit keislaman Walisongo. “Hal ini karena hampir di semua ensiklopedi keislaman tidak memberi tempat untuk menjelaskan hubungan Islam dan perjuangan Walisongo,” papar Kyai Nur Khalik.
Kyai muda yang sudah banyak menulis buku tentang Islam Nusantara itu juga menyoroti kemunculan gerakan pemurnian Jawa akhir-akhir ini. “Gerakan pemurnian Jawa ini adalah upaya untuk memisahkan Jawa dari ajaran Islam. Padahal, Walisongo telah menyatukan Jawa dan Islam itu seperti daging dan darah yang tidak bisa untuk dipisahkan,” tambahnya.
Para wali zaman dulu itu, ungkap Kyai Nur Khalik, telah melakukan gerakan kultural yang sangat elok dalam menciptakan pranta kehidupan kemasyarakatan, baik struktur sosialnya maupun tataran etiknya. Sehingga sangat sulit kalau ada gerakan pemisahan Jawa dan Islam.
“Gerakan semacam itu secara geneologis keilmuan merupakan program para orientalis yang takjub dengan perkembangan Islam di Jawa. Makanya pemerintah kolonial dulu membuat pusat pendidikan Jawa sebagai instrumen untuk program pemisahan Jawa dan Islam,” jelas dia.
Di sisi lain, Dr. Saefudin MA yang lebih fokus pada sejarah keislaman di tanah Tegal menyampaikan bahwa pemerintah kolonial juga berupaya memanipulasi sejarah perkembangan Islam di Jawa.
“Mereka juga melakukan upaya distorsi sejarah dan perkembangan keilmuan keislaman di tanah Jawa. Bahkan mereka juga melakukan intervensi yang menyebabkan kaburnya sejarah keislaman,” ungkap dia.
Di daerah Tegal, masih kata dia, ada banyak jejak sejarah tentang perjalanan dakwah Islam dari Walisongo yang dibuktikan dengan banyaknya peninggalan ajaran-ajaran tarekat dan tasawuf, bahkan juga fiqih. “Di sini banyak khazanah keislaman yang terdokumentasikan. Salah satunya Serat Rambang di Desa Danareja yang berisikan tentang ajaran Walisongo” tutur dia.
Kegiatan diskusi yang dimoderatori oleh Hendri Lisdiyantoro berlangsung sangat gayeng. Kegiatan itu sendiri dihadiri oleh sekitar 100 peserta yang merupakan perwakilan dari pengurus NU dari mulai jajaran PCNU Kota Tegal, MWC, Ranting hingga lembaga dan Banom NU. ***
Pewarta : M. Shafei Pahlevie