Songkok telah menjadi penanda identitas nasional, bukan melulu identifikasi sebagai muslim saja. Dalam pose resmi kabinet terbaru, seluruh menteri menggunakan songkok, tanpa memandang agamanya. Bahkan, Romo Mangun, budayawan dan agamawan Katolik, lebih identik dengan songkok hitamnya yang khas. Ada sebuah anekdot. Tahun 1980-an Gus Dur mengajak Romo Mangun datang ke sebuah acara. Gus Dur seperti biasa datang dengan penampilan kasual dan tanpa penutup kepala, sedangkan Romo Mangun tampil necis berbatik dan tak lupa menggunakan peci hitamnya yang khas. Apa yang terjadi? Peserta seminar berebut mencium tangan Romo Mangun yang terlanjur dikira Gus Dur. Sedangkan Gus Dur yang dicueki peserta malah terkekeh-kekeh melihat pemandangan di depannya.
Namun, anekdot ini tetap tidak menghapus kesan bahwa songkok adalah bagian dari identitas muslim Nusantara, bukan hanya Indonesia, melainkan Singapura, Malaysia, dan Brunei.
Sebelum menelusuri historisitas songkok, tampaknya perlu pembacaan ulang mengenai makna di balik simbol. Songkok awalnya hanya benda penutup kepala. Namun kemudian berkembang lebih dari sekadar penutup kepala. Ia telah menjelma menjadi sebuah simbol, apapun itu, yang memiliki makna. Pernah mendengar teori Interaksionisme Simbolik, bukan? teori ini bisa mempreteli realitas sekitar kita secara kritis, termasuk dalam membaca songkok sebagai sebuah simbol.
Dalam teori ini, manusia berinteraksi memakai simbol, baik bahasa, gestur, isyarat, penampilan, warna, maupun melalui benda. Di antara istilah kunci dari teori ini adalah konsep “diri” (self). Dengan menjadikan “diri” sebagai subyek saat berinteraksi sosial, seseorang melihat dirinya sendiri sebagai subyek yang terpisah, berbeda, maupun memiliki kesamaan dengan lainnya. Ia mendefinisikan dirinya sendiri. Akhirnya, istilah biasa seperti akhi, ukhti, sahabat, kawan, saudara, kamerad, “bulan-bintang”, “palu-arit”, “beringin”, “moncong putih”, telah menjadi simbol khas dan identitas kelompok tertentu. Simbol-simbol kemudian dipakai sebagai bagian dari identifikasi diri (self) dengan individu lainnya. Dari sinilah simbol bermain, bahkan hingga tataran dalam pikiran (mind). Seseorang yang memakai sarung, berbaju koko, dan berkopyah, bakal tampak menggelikan manakala ia masuk ke diskotik dan bergabung di dalamnya. Mengapa? Karena ada proses permainan simbol dalam “pakaian” maupun “tempat-lokasi” tersebut.
Nah, dalam tataran inilah, songkok telah dimaknai sebagai identitas khas umat Islam di Nusantara yang semakin populer manakala dipromosikan Bung Karno dalam pergaulan internasional. Orang Malaysia, Singapura, dan Brunei, bisa saja memakai songkok hitam yang sama dengan songkok kita, namun songkok tetap mendapatkan tempat di dalam ingatan kolektif masyarakat dunia berkat Bung Karno. Hingga sekarang, masyarakat Mesir yang melihat wajah Melayu yang memakai peci hitam selalu menyelutuk “Ahmed Sukarno, Ahmed Sukarno”. Di Uzbekistan juga demikian, seorang sahabat yang menjadi koki di KBRI di Tashkent, saat berziarah ke Makam Imam Bukhari dan Imam Syasi sambil memakai kopiah hitamnya, selalu mendapatkan senyum hormat dari masyarakat. Ingatan mereka melayang kepada seorang negarawan Indonesia, memakai songkok hitam, berkawan akrab dengan Nikita Khruschev, dan berhasil melobi pemimpin Uni Sovyet tersebut agar memugar kembali makam Imam Bukhari. Keberhasilan Bung Karno melobi pemimpin Uni Sovyet adalah upaya yang terus diabadikan di dalam ingatan kolektif penduduk kota Bukhara yang selama puluhan periode dicengkeram rezim komunis. “Ahmed Zu Kar Nu” demikian lidah masyarakat Uzbekistan melafalkan Sukarno dengan penuh hormat.
Dalam tataran historis, asal muasal peci alias kopiah terdapat beragam versi. Silahkan di cek di google, niscaya asal usul penutup kepala ini. Namun, ada beberapa versi mengenai asal muasal songkok ini: pertama, dipengaruhi tarboosh, torbus alias turbus Mesir dan fezzi ala Turki. Kedua hasil kombinasi blangkon dan sorban Arab semenjak era Walisongo; ketiga, pengaruh topi yang digunakan Laksamana Chengho (konon, pe berarti depan, dan chi berarti energi); keempat, pengaruh mahkota para Sultan di Nusantara dari Demak hingga Maluku, yang memiliki mahkota sederhana hasil kreasi Sunan Giri. Dari varian sejarah yang muncul mengenai asal usulnya, sampai sekarang para sejarawan juga tidak memiliki kesimpulan tunggal.
“….peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka….”
Jika kita lihat foto lawas, maka sebelum songkok hitam populer, kaum bangsawan kelas menengah Jawa memakai blangkon, sebagaimana kita temui dalam foto awal aktivis Boedi Oetomo. Sedangkan bangsawan kelas elit memakai topi Barat, sebagaimana tampak dalam foto Hamengkubuwono VIII bersama para putranya. Adapun kaum ulama memakai sorban yang dililitkan di kepala, sebagaimana kelompok Arab memakainya lengkap dengan jubahnya. Di luar Jawa, kaum bangsawan di Sulawesi Selatan memakai penutup kepala yang khas; sejenis songkok berwarna kombinasi coklat-hitam maupun coklat-warna emas, sebagaimana dapat dijumpai dalam berbagai foto anggota aristokrat kerajaan Gowa Tallo dan Bone. Di Aceh, para Tengku dan Teuku memakai penutup kepala ala Teuku Umar dan Panglima Polim. Syaikh Nawawi al-Bantani, seorang ulama kelahiran Banten yang menjadi ulama dengan reputasi internasional di Makkah pada ahir abad XIX, bahkan digambarkan melalui sebuah ilustrasi sederhana bahwa ia memakai sebuah peci mirip tarbus Mesir berwarna putih.
Adapun kelompok haji, lazimnya berpose dengan menggunakan sorban melilit kepala dan berjubah, sebagaimana beberapa foto koleksi KITLV. Mereka berpenampilan layaknya “orang Arab”. Pakaian yang khas ini memainkan simbol perlawanan terhadap pemerintah kolonial, karena para haji saat itu dianggap “sakti” dan memiliki pengaruh signifikan dalam menggerakkan massa seusai menziarahi tanah suci. Keterlibatan para haji dalam perlawanan yang dimotori Pangeran Dipenegoro, Imam Bonjol, maupun perlawanan di Banten 1888, menyebabkan Belanda selalu mencurigai para haji sebagai penghasut. Untuk membatasi pengaruh mereka, pemerintah Belanda menyebarkan kebijakan “fobia haji” (Henk Schult Nordholt, 2005: 3)
Mengkaji songkok sebagai sebuah identitas khas dan simbol, di antaranya bisa melalui sebuah foto bertarikh 1913. Ada enam orang memakai setelan jas hitam, berdasi, dan bersepatu. Tiga orang berdiri di belakang, tiga orang lagi duduk dengan elegan. Duduk di sebelah kanan Soewardi Suryaningrat (kelak bernama Ki Hajar Dewantara), di tengah bernama E.F.E. Douwes Dekker, dan paling kiri dr. Tjipto Mangunkusumo. Khusus nama terakhir ini agak unik, di dalam foto koleksi KITLV bernomor 3725 ini Tjipto Mangunkusumo, aristokrat Jawa, memakai kopiah hitam! Foto tersebut dibuat sesaat setelah Tjipto, Douwes Dekker, dan Soewardi diusir dari Hindia Belanda. Meski saya tidak mengatakan bahwa ini merupakan foto awal penggunaan peci hitam di kalangan pergerakan, namun bagi kalangan aristokrat, menggunakan kopiah sebagai penutup kepala masih amat langka, khususnya pada saat itu. Lazimnya mereka memakai blangkon, atau paling “keren” menggunakan pakaian Eropa (bercelana necis, sepatu, dasi, dan jas) tanpa penutup kepala. Alasannya? Sebagaimana kata Bung Karno dalam “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, karya Cindy Adams, terdapat sensasi modern manakala mereka tampil dengan pakaian eropa tanpa penutup kepala.
Dalam buku itu pula, Bung Karno, tulis Cindy Adams, masih berusia kurang lebih 20 tahun manakala dengan grogi dan demam panggung memutuskan memakai peci hitam di hadapan rapat Jong Java. Soekarno harus tampil dalam rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri. “Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?” “Aku seorang pemimpin.” “Kalau begitu, buktikanlah,” batinnya lagi. “Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat… Sekarang!”
Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah. Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara: “…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.” (Adams: 1966: 51-52)
Blam! Itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci. Bagaimana dengan warna hitam? Jika di Eropa warna hitam telah dimaknai sebagai kekuasaan, keberhasilan, kedisiplinan, dan keandalan semenjak warna ini diadopsi oleh penguasa Burgundy (Harvey, 1995: 165), maka di era kolonialisme yang bercokol di Tanah Air, warna hitam ini dimaknai sebagai simbol solidaritas dan egalitarianisme. Demikianlah, peci hitam mendapatkan popularitas semenjak Bung Karno mengereknya menjadi identitas nasional menuju Indonesia Merdeka. Lalu bagaimana dengan kebiasaan aktivias organisasi di era pergerakan itu?
Beberapa aktivis Sarekat Islam juga memakainya, meskipun dalam sebuah foto bertarikh 1915 dan 1921, aktivis Sarekat Islam mayoritas memakai blangkon, hanya satu dua orang yang berpeci hitam. Pengurus awal Muhammadiyah masih memakai blangkon, sebagian juga menggunakan sorban tipis (sebagaimana yang dipakai oleh KH. Ahmad Dahlan). Generasi Nahdlatul Ulama periode awal menggunakan penutup kepala yang bervariasi: yang berusia muda memakai peci hitam, generasi sepuh melilitkan sorban. Dalam foto lawas menjelang keberangkatan Komite Hijaz (Nahdlatul Ulama) ke Kerajaan Saudi, bahkan ada sosok tinggi besar berkumis memakai turbus (peci tinggi) ala peci Hasan Albanna. Dia bernama Syaikh Ghonaim al-Mishriy, sahabat dekat KH. A. Wahab Hasbullah, pendiri NU.
Peci turbus ala Mesir ini masih digunakan oleh sebagian kecil kiai Jawa pada periode 1930-an hingga pendudukan Jepang. Fakta ini tampak dalam memoar KH. Saifuddin Zuhri, “Guruku Orang-Orang dari Pesantren” (2001), yang mengisahkan Kiai Hisyam, pengasuh Pesantren Kalijaran di Purbalingga, yang menggunakan peci “turbus merah” yang sudah lepas koncernya, sedang menerima Kiai Raden Iskandar yang memakai peci hitam alas HOS. Tjokroaminoto (hal. 184). Kiai yang menjadi Menteri Agama era Orde Lama ini juga mengisahkan jenis peci yang digunakan di era 1930-an, yaitu “peci Padang” alias peci mengkilap hitam yang digunakan seorang pemain sandiwara keliling bernama Syaifuddin (hal. 60) maupun “peci putih” ala KH. Mahfudh Siddiq yang menjadi trend di kalangan para pemuda di lingkungan tempat tinggal KH. Saifuddin Zuhri muda (hal. 106). Peci putih ala Kiai Mahfudh itu persis peci yang digunakan oleh Jawaharlal Nehru.
Dalam foto penangkapan para “pemberontak” PKI di Banten, 1926, dari sembilan orang yang ditangkap, lima di antaranya memakai songkok hitam. Mereka menatap kamera dengan ekspresi pasrah. Foto lainnya, dua orang polisi Hindia Belanda menenteng senapan dengan pose angkuh berdiri membawahi tujuh orang “pemberontak” yang ditangkap di Tangerang, dan semuanya memakai songkok hitam. “Identitas” kaum pejuang (maaf saya enggan menggunakan istilah pemberontak) yang mayoritas memakai songkok hitam ini merupakan peneguhan identitas bahwa songkok adalah identitas wong cilik, kaum marhaen, mustad’afin, proletariat; yang lebih banyak menjadi obyek penindasan.
Uniknya, meskipun saat ini songkok juga menjadi bagian tak terpisahkan dari komunitas santri, namun manakala kita melacak foto tahun 1920-an, tampak bahwa kaum santri masih memakai blangkon, sebagaimana tampak dalam foto masa muda Abdul Wahid Hasyim, putra KH. Hasyim Asyari, sekitar tahun 1928.
Mengapa kajian kita kali ini harus melihat sejarah songkok melalui foto, sebagaimana penjelasan di atas? Fotografi kolonial telah menawarkan informasi yang cukup mengenai banyak hal: strata sosial, kepercayaan diri, kisah keluarga, fase perjuangan, penindasan pribumi, kepongahan Belanda, hingga perpaduan nilai ekstrinsik kebudayaan dan nilai Barat.
Melalui kajian foto kolonial pula, kita bisa melihat bagaimana Bung Karno dengan percaya diri berfoto di depan pengadilan kolonial Belanda dengan kopiah hitamnya 1932, atau bagaimana juga saat ia menggelorakan emosi rakyat melalui orasinya yang memukau sambil tetap menggunakan peci, sehingga pada saat Indonesia merdeka, mayoritas anggota kabinet menggunakan peci sebagai identitas nasional, tanpa peduli ideologinya; Islamis, sosialis, nasionalis, hingga komunis. Bahkan, kelompok militer generasi awal juga menggunakan peci hitam sebagaimaa yang ditunjukkan oleh Jenderal Sudirman dan Jenderal Urip Sumoharjo. Para penempuh “jalan pedang” seperti Sekarmadji Kartosuwirjo, Daud Beureuh, hingga Kahar Muzakkar semuanya juga tak pernah meninggalkan songkok hitamnya.
Dari sini, kita melihat upaya yang dilakukan oleh Bung Karno untuk menggunakan peci hitam sebagai simbol nasionalisme Indonesia berhasil. Para menteri di era Bung Karno sering mendapatkan hadiah kain beludru darinya. KH. Saifuddin Zuhri, Menteri Agama, pernah dihadiahi kain beludru sebagai bahan baku yang cukup membuat enam peci.
Terdapat sebuah kisah menarik yang di sela-sela sidang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada September 1959. Saat itu Bung Karno menyatakan bahwa dia sebenarnya kurang nyaman dengan segala pakaian dinas kebesaran, tetapi semua ini dipakai untuk menjaga kebesaran Bangsa Indonesia.
“Seandainya saya adalah Idham Chalid yang ketua Partai NU atau seperti Suwiryo, ketua PNI, tentu saya cukup pakai kemeja dan berdasi, atau paling banter pakai jas,” kata Bung Karno sambil melihat respon hadirin.
“Tetapi soal peci hitam ini, tidak akan saya tinggalkan. Soalnya, kata orang, saya lebih gagah dengan mengenakan songkok hitam ini, benar enggak Kiai Wahab ?” tanya Bung Karno pada KH. Abdul Wahab Hasbullah, Rais Aam Nahdlatul Ulama yang juga anggota DPA itu.
“Memang betul, saudara harus mempertahankan identitas itu. Dengan peci hitam itu, saudara tampak lebih gagah seperti para muballigh NU,” jawab Kiai Wahab. Pernyataan Kiai Wahab ini menyulut gelak tawa seluruh anggota DPA.
“Dengan peci itu saudara telah mendapat banyak berkah, karena itu ketika berkunjung ke Timur Tengah, saudara mendapat tambahan nama Ahmad,” seloroh Kiai Wahab. Dialog di atas dapat dijumpai dalam memoar KH. Saifuddin Zuhri, berjudul “Berangkat dari Pesantren”.
Patung Lilin Bung Karno
Ia menggunakan peci sebagai simbol “nasionalisme melalui pakaian”, sebagaimana Gandhi dengan jubah Swadesi-nya, Nehru dengan peci putihnya, Mao Ze Dong dan Zou En Lai dengan pakaian safarinya, Raja Faisal melalui jubah Arabianya, hingga Moamar Khaddafi dengan jubah Badui-nya. Bung Karno berusaha mengawal agar simbol nasionalisme tidak tertanam pada pakaian khusus, tetapi pada peci. Proklamator ini menyebut peci sebagai “ciri khas saya [……] simbol nasionalisme kami” (Adams, 1966: 51), Menurutnya, pertentangan antara kelompok elit berorientasi Barat yang baru, muda, agak egois, serta idealistik mengenai barisan terdepan yang menaruh perhatian terhadap rakyat, telah memainkan peran utama dalam mengangkat peci sebagai simbol nasionalisme.
Bung Karno bahkan mengakui jika ia sendirilah yang memberikan makna khusus pada simbol peci alias kopiah hitam itu. Sebagaimana telah dijelaskan dalam paragrap awal, Soekarno muda merasa jengah dan jengkel atas pertentangan kaum cendekia atas penutup kepala, “…..diskusi panas di antara pihak yang disebut cendekiawan, yang membenci kain penutup kepala yang dipakai oleh para pria Jawa sebagai pasangan sarung mereka, serta pitji yang dipakai para pengemudi betjak dan rakyat biasa lainnya…” (Adams 1966: 51). Hingga akhirnya, ia memutuskan bahwa memakai peci merupakan cara untuk menunjukkan solidaritasnya kepada rakyat biasa setelah melihat rekan-rekan senegaranya yang congkak berbaris melintas di jalan dengan kepala rapi tanpa penutup kepala.
Tekad Bung Karno menjadikan peci sebagai identitas nasional sangat rasional. Ia menghindari penggunaan pakaian daerah tertentu, pakaian Jawa misalnya, agar lebih nasionalis dan dapat diterima sebagai sosok pemersatu bangsa. Foto Bung Karno yang memakai blangkon dan bersarung hanya ada di saat muda saja, sebelum ia tampil sebagai pejuang pergerakan nasional di pertengahan era 1920-an. Seakan-akan, tulis Kees van Dijk, Bung Karno yang menyaksikan kelahiran ideal kesatuan nasional dan juga permasalahan-permasalahan yang dipicu oleh hubungan antar wilayah, berhati-hati untuk tidak menekankan asal usulnya sebagai orang Jawa dalam penampilan publiknya (Kees van Dijk dalam Henk Schulte Nordholt, Outward Appearances: Trend, Identitas, dan Kepentingan, 2005: 103).
Hingga akhirnya kita mengenal Bung Karno, setidaknya melalui foto-foto, yang mengenakan kemeja sederhana dengan kopiah melekat di kepalanya. Namun, khusus semenjak Bung Karno tak lagi didampingi oleh Bung Hatta, pada pertengahan 1950-an, ia memilih terus memakai peci namun dengan seragam kebesaran militer.
Kopiah hitam tetap menyertainya dengan setia dalam sidang PBB yang melambungkan reputasi internasionalnya, hingga tatkala menyampaikan pidato Nawaksara-ya yang menandai keruntuhan kekuasaannya.
Dunia internasional mengenangnya dengan membuatkan Patung lilin Bung Karno di Museum Madame Tussaud. Di sini, presiden RI terpopuler itu memakai seragam militer berwarna putih, memegang tongkat komando, berwajah sumringah dengan senyum merekah dan…memakai peci hitam!
Wallahu A’lam bis sowab
foto adalah generasi awal aktivis Nahdlatul Ulama.
-Rizal Muzaiq Z