Dalam dunia fikih, meminum kencing unta bukanlah bahasan asing sebab dalam hadis shahih diceritakan dengan jelas bagaimana Nabi Muhammad meresepkan kencing unta bagi penduduk Urainah/Ukl (dalam satu riwayat Abu Awanah dan al-Thabari diterangkan bahwa mereka terdiri dari 4 orang Urainah dan 3 orang Ukl sedangkan dalam riwayat lain disebutkan komposisi yang berbeda). Mereka semua kedapatan sakit sewaktu berkunjung ke Madinah.
Dalam berbagai riwayat yang disebutkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, simptom penyakitnya adalah lemah/kurus parah (الْهُزَالُ الشَّدِيد), terlihat seperti kelaparan akut/perut membesar (وَالْجَهْدُ مِنَ الْجُوع) dan kulitnya menguning (مُصْفَرَّة). Para dokter yang membaca ini kemungkinan bisa mendiagnosa penyakit tersebut. Redaksi resep sabda Nabi untuk mengatasinya adalah sebagaimana dalam dua riwayat berikut:
إِنْ شِئْتُمْ أَنْ تَخْرُجُوا إِلَى إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَتَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا (رواه مسلم)
“Kalau kalian mau, silakan kalian keluar menuju tempat unta sedekah lalu kalian minum susu dan air kencingnya”. (HR. Muslim)
أَلَا تَخْرُجُونَ مَعَ رَاعِينَا فِي إِبِلِهِ، فَتُصِيبُونَ مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا (رواه مسلم)
“Kenapa kalian tidak keluar bersama penggembala unta kami sehingga kalian bisa minum kencing dan susunya”. (HR. Muslim)
Tentang khasiat kencing unta ini, Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan riwayat berikut:
عَن بن عَبَّاسٍ رَفَعَهُ عَلَيْكُمْ بِأَبْوَالِ الْإِبِلِ فَإِنَّهَا نَافِعَةٌ لِلذَّرِبَةِ بُطُونِهِمْ (فتح الباري : 10/143)
“Dari Ibnu Abbas secara marfu’ (disandarkan pada Nabi) mengatakan: “Sesungguhnya kencing unta itu bermanfaat bagi orang yang sakit perut”.
Akhina Ust Ma’ruf Khozin dari Aswaja Center PWNU Jatim sudah menulis artikel yang cukup lengkap tentang hukum meminum kencing unta tersebut dari perspektif fikih. Beliau membahasnya dari sudut pandang Syafi’iyah yang menganggap bahwa kebolehan tersebut hanya dalam konteks berobat (darurat) sebagaimana bisa dilihat dari latar belakang hadis di atas, bukan dalam kondisi normal. Kebolehan itu pun masih dibatasi dengen beberapa catatan. Sebagai pengikut mazhab Syafi’i saya sepenuhnya setuju terhadap tulisan beliau. Hanya saja apabila kita melihat dari perspektif mazhab lain yang menganggap kencing unta bukan barang najis, maka hasilnya akan sedikit berbeda; Statusnya akan sama dengan cairan lain yang tidak najis dan tidak beracun bagi tubuh, yakni boleh diminum meskipun tidak dalam keadaan sakit atau darurat. Ibnu Mardawi menukil pernyataan seorang ulama yang berpendapat bahwa kencing unta tak najis sebagaimana berikut:
وَأَمَّا عَلَى رِوَايَةِ طَهَارَتِهِ: فَيَجُوزُ شُرْبُهُ لِغَيْرِ ضَرُورَةٍ. كَسَائِرِ الْأَشْرِبَةِ انْتَهَى. (الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف للمرداوي، ٣٤٠/١)
“Adapun menurut pendapat yang menganggapnya suci, maka disimpulkan boleh meminumnya tanpa keadaan darurat seperti halnya segala minuman lain”.
Sampai pada point ini, tampaknya segala bentuk “kenyinyiran” terhadap tindakan kontroversial ustad tersebut perlu dihentikan dan kita dahulukan toleransi di atas segala perbedaan pendapat. Bagi mereka yang akrab dengan muqaranatul fiqhiyah, toleransi semacam ini sudah menjadi keseharian sebab faktanya para ulama mu’tabar berselisih pendapat dalam banyak hal. Nahdliyyin, secara khusus, seharusnya berada dalam garda terdepan mengawal toleransi semacam ini sebab sejak awal NU mendeklarasikan diri sebagai pembela empat mazhab fikih Ahlussunnah Wal Jama’ah tanpa mempermasalahkan ikhtilaf di antara mereka. Bagaimana bisa “nyinyir” terhadap hal sepele ini sedangkan dalam hal yang lebih sulit diterima masyarakat Indonesia, semisal pendapat Imam Malik bahwa kotoran anjing itu suci, kita semua santai saja menganggapnya bagian dari khazanah pengetahuan? Di sinilah sikap inshaf kita perlu diuji.
Akan tetapi, ada masalah fiqhiyah yang harus didudukkan dalam konteks yang tepat supaya umat tidak salah dalam memahami kasus kencing unta ini. Ulama berbeda pendapat dalam hal najis-tidaknya kencing unta, tapi tak ada dari mereka yang menganggap sunnah (anjuran berpahala) ketika meminumnya. Ada perbedaan yang sangat jauh antara memperbolehkan (menganggap mubah) dan menganjurkan (menganggap sunnah). Bila dilihat dari redaksi dan konteks hadis sebagaimana dinukil di atas, Nabi tidak pernah merekomendasikan kencing unta sebagai minuman, bahkan menjadikannya dalam daftar minuman saja tidak. Dan jelas, Nabi secara pribadi tak pernah terekam meminumnya. Pemberian restu tersebut dalam konteks ilmu Ushul Fiqh masuk dalam kategori ibahah (menganggap boleh tanpa ada kaitannya dengan pahala atau dosa). Dalam level ini, para ulama sepertinya sepakat.
Sebab pertimbangan di atas, mereka yang tidak menajiskan kencing unta masih berpolemik apakah boleh meminumnya dalam keadaan tidak darurat?. Ibnu Taymiyah yang dikenal sebagai ulama literalis itu pun menjelaskan:
وَإِذَا كَانَ الْقَائِلُونَ بِطَهَارَةِ أَبْوَالِ الْإِبِلِ تَنَازَعُوا فِي جَوَازِ شُرْبِهَا لِغَيْرِ الضَّرُورَةِ، وَفِيهِ عَنْ أَحْمَدَ رِوَايَتَانِ مَنْصُوصَتَانِ، فَذَاكَ لِمَا فِيهَا مِنْ الْقَذَارَةِ الْمُلْحَقِ لَهَا بِالْمُخَاطِ، وَالْبُصَاقِ، وَالْمَني، وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنْ الْمُسْتَقْذَرَاتِ الَّتِي لَيْسَتْ بِنَجِسَةٍ، الَّتِي يُشْرَعُ النَّظَافَةُ مِنْهَا. (الفتاوى الكبرى لابن تيمية:1/433)
“Apabila orang yang berpendapat bahwa kencing unta itu suci berselisih paham tentang boleh tidaknya meminumnya dalam kondisi tidak darurat, maka terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad yang menyatakan bahwa di dalamnya ada unsur kotor yang disamakan dengan ingus, ludah, sperma dan lain-lain yang tidak najis tetapi disyariatkan untuk menjaga kebersihan darinya”.
Sampai point ini kita tahu bahwa meminum kencing unta atau hewan apapun tidak disyariatkan dalam kondisi normal sehingga segala bentuk dakwah yang mengesankannya sebagai sunnah (anjuran berpahala) harus ditinjau ulang. Para ulama salaf hanya sepakat bahwa dalam kondisi darurat/sakit boleh meminumnya tetapi mereka berselisih soal kebolehan meminumnya dalam kondisi normal.
Memang secara teori, sebagaimana dalam nukilan al-Mardawi di atas, bila tak menganggapnya najis maka seharusnya boleh meminumnya dalam kondisi normal. Namun apakah ada ulama yang betul-betul melakukannya atau merekomendasikannya? Ini yang tampaknya sulit ditemukan. Kasusnya sama seperti seorang pria shalat dengan celana kolor yang hanya menutupi area pusar hingga lutut. Secara teori hal ini dibenarkan sebab aurat sudah tertutup, akan tetapi apakah ada ulama yang melakukannya dalam kondisi normal apalagi menganjurkannya? Sepertinya kita harus sepakat bahwa jawabannya tidak.
Kencing Unta dalam Bingkai yang Luas
Ketika kita melihat dari perspektif yang lebih luas dari sekedar fikih, kita tahu bahwa resep pengobatan Rasulullah tersebut bukanlah terkait tasyri’iyah. Beliau saat itu berpendapat sebagai salah satu abna’u zamanih (putra zamannya) yang sesuai dengan pengetahuan umum kala itu, bukan dalam kapasitas sebagai utusan Tuhan yang ucapannya berlaku lintas masa. Mendudukkan masalah ini menjadi penting agar wibawa Rasul sebagai pembawa panji risalah yang tak mungkin salah tetap terjaga.
Tentang urusan duniawi seperti cara bercocok tanam, cara berobat dan sebagainya Rasulullah bersabda:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ (رواه مسلم)
“Engkau lebih tahu tentang urusan duniamu”.
Imam Nawawi dalam Syarahnya terhadap Shahih Muslim meletakkan hadis tersebut dalam bab yang berjudul:
بَابُ وُجُوبِ امْتِثَالِ مَا قَالَهُ شَرْعًا دُونَ مَا ذَكَرَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) مِنْ مَعَايِشِ الدُّنْيَا عَلَى سَبِيلِ الرَّأْيِ
“Wajib patuh pada sabda Nabi yang diucapkan dalam bingkai syariat, bukan dalam konteks penghidupan duniawi berdasarkan pendapat pribadi”.
Dengan demikian, sebenarnya tidak layak apabila Rasulullah selalu dibawa-bawa dalam konteks seperti ini. Seperti halnya dalam konteks pengobatan lainnya yang sering disebut-sebut sebagai pengobatan ala Nabi (Thibbun Nabawi). Dalam berbagai hadis kita tahu bahwa Rasulullah mengatakan bahwa Jinten Hitam adalah obat segala penyakit, bahwa sahabat tertentu diminta untuk berbekam dan seterusnya. Bila kita menempatkan semua hadis tersebut dalam bingkai tasyri’iyah, maka ada dua kemungkinan yang akan terpikirkan oleh banyak orang modern, yakni:
- Rasulullah salah besar sebab ternyata penelitian di lapangan membuktikan bahwa kencing unta berperan besar dalam penyebaran virus Mers, bahwa jinten hitam tak mampu mengobati segala penyakit dan gugatan seterusnya.
- Menuduh orang yang tak sembuh melalui “resep nabawi” itu sebagai kurang beriman sehingga tidak manjur.
Dua opsi di atas tentu buruk dan tak layak dipilih. Yang tersisa hanyalah opsi ketiga bahwa segala saran Rasulullah tersebut sesuai dengan era saat itu saja sesuai penyakit yang berkembang di era itu saja dalam kondisi seperti era itu saja. Sama seperti yang terjadi pada Ibnu Sina (Avicenna) yang diakui keilmuannya sebagai filsuf dan dokter muslim terkemuka, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Qayyim dalam Zad al-Maad, ia berkata:
قال صاحب القانون: وأنفع الأبوال : بول الجمل الأعرابي وهو النجيب (زاد المعاد: 4 / 47-48 ).
“Pemilik kitab al-Qanun (Ibnu Sina) berkata: Kencing yang paling bermanfaat adalah kencing unta pedalaman. Ia lebih dari lainnya”.
Andai saja Ibnu Sina masih hidup hingga masa ini ketika ilmu kedokteran telah jauh melampaui pencapaian di masa dia menulis al-Qanun (The Canon), maka kemungkinan besar ia akan meralat pernyataannya tersebut atau setidaknya memberinya catatan-catatan. Menariknya, hingga saat ini di timur tengah tidak sedikit penelitian ilmiah yang dilakukan untuk membuktikan khasiat kencing unta sebagaimana disebutkan dalam artikel di tautan ini:
https://islamqa.info/ar/83423. “Namun tampaknya belum ada konsensus secara ilmiah mengenai temuan itu. Andai saja mereka berhasil membuktikan pada dunia bahwa kencing unta lebih besar khasiatnya dari potensi bahayanya, tetap saja hasilnya secara fikih takkan berubah seperti sudah dijelaskan sebelumnya.”
Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.
Oleh: Abdul Wahab Ahmad (Wakil Katib PCNU Jember)