Jujur saja saya seringkali kasihan dengan Gus Dur. Beliau itu bisa dibilang kiyai sepuh NU yang paling malang.
Sepanjang hidupnya dicaci maki oleh orang-orang awam yang tidak sadar dirinya masih awam. Kalangan santri yang benar-benar mengaji agama dengan serius saja terkadang bingung dengan tindakan para kiyai sepuh, apalagi hanya sekelas wartawan dan cendekiawan muslim perkotaan yang senang mengaji secara instan.
Seandainya, sekali lagi seandainya, Gus Dur memilih berdiam di zona nyaman, yaitu hanya mengurusi nahdliyyin, almarhum pasti tidak mengalami kisah hidup yang penuh hujatan. Hal itu karena di internal nahdliyyin ada semacam “sabuk pengaman”, yaitu; yang masih santri, gus, dan kiyai dilarang berburuk sangka kepada kiyai sepuh. Sebutan “kiyai sepuh” sendiri pada dasarnya adalah bahasa halusnya kiyai NU yang terindikasi kuat adalah wali.
Hal itu karena level wali bukanlah level rasul. Semua orang sholeh pasti rendah hati. Kalau nabi dan rasul mudah dikenali, itu karena disuruh Allah SWT harus membuka jati diri, agar bisa diimani umatnya. Berbeda dengan wali. Karena dibebaskan memilih mengumumkan atau tidak, jelas semua wali memilih tidak mengumumkan derajatnya.
Semua orang sholeh pasti rendah hati. Nabi Muhammad SAW saat dipaksa-paksa beberapa sahabat untuk mengajarkan bacaan shalawat, beliau hanya memberikan bacaan amat sangat sederhana; Allahumma shalli ‘ala Muhammad.
Silakan dicermati. Benar-benar hanya memakai kata Muhammad. Tidak ada tambahan kata semacam Sayyidina, Maulana, Habibina, Qurrata ’ayyunina, atau semacamnya. Menurut KH. Muhammad Ainun Nadjib, hal itu karena kanjeng nabi adalah manusia istimewa dan bukanlah sosok yang narsis.
Sifat kerendahan hati kanjeng nabi memang luar biasa. Salah satu bukti otentik akhlak beliau adalah Piagam Madinah. Di dalam perjanjian tersebut, kanjeng nabi menamai dirinya sendiri sebagai Muhammad bin Abdullah. Tidak memakai gelar nabiyullah, bahkan sekadar menyebut dirinya pemimpin penduduk muslim di Kota Madinah pun tidak.
Jadi, apakah mungkin Nabi Muhammad SAW memanggil para sahabat lalu mengajarkan berbagai macam puji-pujian untuk dirinya sendiri?
Jangankan presiden, kita memanggil seorang camat saja di sebuah acara kampung, kita tidak mungkin memanggil namanya secara langsung. Misalnya, tidak mungkin kita memanggil Budi, pasti kita memanggilnya “Yang Terhormat Kepala Kecamatan Ambalat Bapak Budi”. Minimal pasti kita memanggilnya “Pak Budi”.
Mana mungkin derajat Penutup Para Nabi dan Rasul kalah oleh seorang camat atau seorang presiden?
Itulah sebabnya bacaan shalawat saya pribadi, paling minimal memakai gelar Sayyidina. Saya tidak berani kurang ajar pada kanjeng nabi dengan memanggil langsung nama saja.
*
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, tidak hanya Gus Dur, beberapa kiyai sepuh lainnya terkadang melakukan tindakan yang membingungkan kalangan internal nahdliyyin.
Dahulu pernah ada sidang pleno PBNU menyikapi aliran Ahmadiyah. Pada tahap sidang komisi, para anggota sepakat menilai bahwa aliran Ahmadiyah adalah “aliran sesat dan menyesatkan”. Selain masalah isi ajarannya, secara historis aliran Ahmadiyah memang buatan intelijen Inggris. Sengaja dibikin pada tahun 1888 M, karena situasi saat itu ada huru-hara di India. Pada waktu itu ada gerakan bawah tanah untuk pemisahan diri dan membuat negara Islam bernama Pakistan.
Tapi, di level sidang pleno, yang dipimpin Ra’is ‘Aam NU secara langsung, dan didampingi beberapa kiyai sepuh lainnya, hasil sidang komisi tersebut diubah. KH. Sahal Mahfudz (Ra’is ‘Aam NU kala itu) menasehati para anggota sidang komisi fatwa, “Jangan menggunakan bahasa caci-maki. Kita perhalus bahasanya.”
Kemudian, KH. Sahal Mahfudz mendikte redaksi kata-katanya; aliran Ahmadiyah adalah aliran agama Islam yang ditolak oleh umat Islam internasional.
Sepintas tidak ada yang beda, tapi kalau kita cermati maksud Mbah Sahal, ada ilmu hikmah yang bisa kita petik. Bahasa caci-maki menunjukkan aroma kebencian. Jika para elit PBNU menggunakan redaksi bahasa caci-maki, bisa “habis” orang-orang Ahmadiyah.
Bahasa caci-maki melahirkan kebencian, sedangkan kebencian melahirkan ketidakadilan. Orang yang sudah benci dari awal, tidak mungkin bisa bersikap adil. Niat awal hanya memberitahu warga NU bahwa aliran Ahmadiyah bukanlah termasuk Ahlussunah wal Jama’ah, jatuhnya nanti malah peristiwa penyerbuan dan pengrusakan. Mbah Sahal adalah seorang alim ulama yang arif, jadi jarak pandangannya sudah bisa jauh ke depan. Beliau bisa menyadari potensi itu.
Nahdliyyin akar rumput yang mudah salah paham, dikhawatirkan justru menganggap fatwa dengan redaksi bahasa kasar adalah “instruksi” memerangi. Maka dari itu, Mbah Sahal dan para kiyai sepuh lainnya sepakat untuk menggunakan redaksi bahasa yang halus.
Sesuatu yang diawali bersinar akan berakhir dengan bersinar pula.
Untuk menjaga nahdliyyin dari aliran Ahmadiyah, Mbah Sahal menggunakan redaksi bahasa berupa “kalimat berita”. Jelas maksudnya, tapi tidak keras.
Kalimat berita berbeda dengan kalimat opini. Kalau kita belajar ilmu jurnalistik, kita akan tahu bedanya. Kalimat opini pasti membawa kata sifat. Tidak mungkin aliran Ahmadiyah diberi kalimat opini bersifat positif, jadi Mbah Sahal memilih redaksi bahasa berupa kalimat berita saja.
Pendapat Mbah Yai Sahal Mahfudz diperkuat oleh pendapat kiyai sepuh NU lainnya. Mbah Yai Maimun Zubair menasehati agar nahdliyyin mendakwahi para pengikut Ahmadiyah. Jangan dikejar-kejar dan dipukuli, tapi didakwahi.
Dakwah itu artinya mengajak. Metode dakwah yang diajarkan Rasulullah SAW, dan pernah dicontohkan Walisongo, adalah dakwah yang dilandasi rasa kasih sayang dan penuh kelembutan. Mbah Maimun sama persis dengan Mbah Sahal, adalah alim ulama yang arif. Mbah Maimun menasehati demikian, karena sangat tahu pada dasarnya para penganut aliran Ahmadiyah adalah orang yang ikut-ikutan saja. Banyak di antara mereka yang tidak memiliki kitab karangan Mirza Ghulam Ahmad.
Ibaratnya calo armada bus, kalau cara mengajaknya penuh keramahan dan kesabaran, pasti yang diajak mau menurut. Tapi, kalau cara mengajaknya seperti preman terminal, para penganut aliran Ahmadiyah justru lari dari cahaya Islam. Kata Mbah Maimun, aliran Ahmadiyah sebenarnya hanya masalah beda nabi penutupnya siapa, jadi sangat mudah ditarik kembali ke agama Islam, kalau kita betul caranya berdakwah.
*
Terakhir, saya nukilkan lagi sebuah “cerita humor” seorang kiyai sepuh NU yang lain lagi. Penuh ilmu hikmah, meski terkesan lucu.
Suatu hari ada kiyai-kiyai NU kumpul di sebuah pondok pesantren. Saat itu Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri ingin menerangkan tentang awal mula kesalahan beragama.
Beliau melemparkan pertanyaan, “PPP, PDI, dan Golkar itu wasilah atau ghoyyah?” Para kiyai pun serempak menjawab dengan mantap, “Wasilah!” Ada yang saking mantapnya, jadi malah setengah berteriak. Kiyai sepuh itu menimpali, “Nilai 100 untuk bapak-bapak kiyai.”
“NU, Muhammadiyah, dan semacamnya itu wasilah atau ghoyyah?” Mbah Mustofa Bisri bertanya lagi. Para kiyai kemudian menjawab pelan agak ragu-ragu, “Wasilah…” Beliau hanya tersenyum mendengar nada jawaban para kiyai yang mulai terasa berubah.
Pertanyaan terakhir, kiyai sepuh itu pun bertanya, “Islam, Katholik, Hindu, dan semacamnya itu wasilah atau ghoyyah?”
Seketika itu pula ruangan menjadi hening. Tidak ada kiyai yang menjawab. Mbah Mustofa sampai mengulangi pertanyaannya tiga kali, para kiyai tersebut tetap hanya diam.
Ghoyyah itu artinya tujuan akhir. Wasilah itu artinya sarana menuju.
Kemudian ada kiyai yang balik bertanya, “Kalau pendapat Gus Mus sendiri bagaimana?” Dengan mantap beliau menjawab, “Agama Islam adalah wasilah.” Para kiyai kemudian ribut sendiri, “Lho, bagaimana bisa agama Islam adalah wasilah?!”
Sekali lagi, dengan mantap, Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri menjawab penuh kharisma, “Karena ghoyyah-nya… Allah.” Seketika itu pula, semua kiyai di ruangan tersebut kembali diam semua.
Mbah Mustofa Bisri lantas membuat pengandaian. Kalau Anda ingin ke Jakarta memakai mobil, bus, atau kereta api, tidak akan sampai. Karena Jakarta sedang banjir, maka melalui jalan darat tidak mungkin bisa sampai. Hanya bisa sampai ke Jakarta melalui pesawat terbang. Meski satu-satunya sarana transportasi yang bisa menjangkau Jakarta, pesawat terbang ini tetaplah hanya wasilah (sarana menuju). Maka dari itu, di berbagai kesempatan, Mbah Mustofa Bisri menasehati nahdliyyin untuk selalu menghormati umat beragama lain.
Bagaimanapun juga, umat beragama lain pada dasarnya sama seperti umat muslim, yaitu sedang berusaha menujuNya. Semua pilihan orang lain harus dihargai, seperti diri kita ingin dihargai memilih wasilah agama Islam.
Jadi, awal mula kesalahan beragama adalah menganggap agama Islam seperti partai politik. Ditambah salah menetapkan apa yang menjadi wasilah dan apa yang menjadi ghoyyah dalam agama Islam.
Akhirnya, bisa tumbuh sikap berlebih-lebihan dalam beragama Islam, dan pada akhirnya menjadi sibuk “kampanye” atribut agama Islam yang disertai kebencian terhadap umat beragama lain. Sehingga justru lupa kepada tujuan pokok agama Islam. Mirip prilaku para anggota partai politik masa kini.
Demikianlah saya cukupkan tulisan kali ini, karena berlebihan itu tidak baik. Tulisan sederhana kali ini bisa para pembaca sekalian anggap sebagai bahan renungan untuk selalu berprasangka baik dan rendah hati.
Bisa juga dianggap hanya sekadar icip-icip cerita tentang kearifan beberapa kiyai sepuh NU.
~~
[ dikutip dari buku “Kembali Menjadi Manusia”]