Oleh: Rizal Mumazziq Z
Saat terjadi kudeta Mesir, aktivis Ikhwanul Muslimin turun jalan. Muhammad Mursi, presiden dari kubu mereka, didongkel jenderalnya sendiri, Assisi. Mereka melawan. Tentara memberangus gerakan politik islamis ini. Para pemimpin IM tak mau menyerah, mereka menyuarakan perlawanan. Banyak aktivis menjadi martir.
Di Turki, Erdogan nyaris didongkel. Pelakunya? Faksi kecil militer. Dari tempat liburannya, sang presiden menyuarakan perlawanan. Pendukungnya bergerak. Arus bawah menguat. Kudeta akhirnya gagal.
Di Indonesia, 2001, Gus Dur versus parlemen. Dengan halus dan piawai, para politisi mempreteli kekuasaan Gus Dur. Mega dan Amien Rais melakukan manuver politik yang bsia disebut sebagai kudeta halus. Sebagian politisi NU menyuarakan perlawanan, sebagian kecil bahkan membentuk front “perjuangan”. Mereka siap mempertahankan Gus Dur di kursi kekuasaan dengan taruhan nyawanya. Pamswakarsa, milisi sipil tak bersenjata api yang disokong militer dan (kabarnya) didanai politisi, mulai terlibat bentrok dengan pendukung GD, setelah dua tahun sebelumnya baku hantam dengan mahasiswa.
Suara perlawanan terus dikumandangkan. Basis-basis nahdliyyin menggelegak, dibangkitkan dengan narasi terdzolimi. Di tengah kondisi yang memanas ini, bagaimana reaksi Gus Dur sebagai RI-1 yang didukung jutaan massanya? Apakah dida menggelorakan perlawanan dengan menggerakkan pendukungnya? Tidak.
Dengan berkaos dan bercelana pendek, di teras istana negara, ia menyapa para pendukungnya yang sudah siap mati untuknya. Ini penampilannya yang paling eksentrik. Presiden yang menanggalkan simbol kebesarannya dengan hanya mengenakan baju rakyat: kaos dan celana pendek. Bisa saja Gus Dur menggunakan pakaian kebesarannya dan simbol-simbol tertentu untuk menyentuh aspek sentimentil-emosional pendukungnya. Tapi tidak, dia tidak melakukannya. Dengan tertatih-tatih, Gus Dur mengangkat tangan, melambaikan telapak, dan meminta pendukungnya pulang. Pulang? Ya, pulang. Tak ada orasi perlawanan, tak ada narasi sebagai pihak yang dizalimi, juga tak ada glorifikasi jabatan melalui penggunaan jargon-jargon agama.
Para pendukungnya, yang datang dari berbagai daerah, menangis. Bukan karena melihat Gus Dur sebagai pihak yang dizalimi, tapi tangis haru melihat upaya sang tokoh menghindari bentrok sesama anak negeri. Bukankah ini cara Gus Dur mengimplementasikan Ukhuwah Wathaniyah alias persaudaraan tanah air? Elegan, bukan?
“Tak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian,” kata Gus Dur suatu ketika. Karena sejak awal sudah memandang sebuah jabatan sebagai sesuatu yang tidak istimewa, maka Gus Dur pun tak lantas melakukan glorifikasi dan mistifikasi atas sebuah jabatan.
Tak percaya? Silahkan cermati komentar Gus Dur di sebuah perbincangan ini, “Saya jadi presiden itu cuma MODAL DENGKUL. Itupun dengkulnya Amien Rais.”
Wallahu A’lam