Nampaknya saya butuh menjelaskan kenapa saya memberikan gelar “Sulthanul Ulama” kepada Gus Mus. Karena banyak yang bertanya, terutama guru saya yang sangat saya ta’dzimi, yaitu KH. Afifuddin Muhajir. Beliau mengritik dan menegur saya karena dianggap menyamakan Gus Mus dengan al-Imam Izzuddin bin Abdissalam yang ahli tafsir, hadits, dan tetutama fiqh dan ushul fiqh sehingga diakui dunia sebagai Sulthanul Ulama.
Sebenarnya ini hanyalah refleksi saya pribadi terhadap sosok Gus Mus, jadi bisa dipercaya bisa tidak, bisa diikuti dan juga bisa tidak. Saya memang tidak butuh banyak kriteria untuk menilai seseorang, cukup beberapa hal yang saya anggap urgen dan relevan dengan kebutuhan zaman.
Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri-sendiri, sehingga ketokohan seseorang sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam menghadapinya. Tantangan pada masa Izzuddin bin Abdissalam, Imam Ghazali, Imam Syafi’i tidak sama dengan yang sekarang kita hadapi. Sehingga tidak bisa tokoh pada suatu kurun dan tempat kita figurkan pada kurun dan tempat yang berbeda.
Gus Mus saya katakan sebagai Sulthanul Ulama zaman ini karena hari ini tidak ada ulama NU yang seperti beliau. Kenapa NU saya jadikan sandaran? Karena NU (Nahdlatul Ulama) satu-satunya organisasi yang memakai nama kebangkitan (nahdlah) ulama, dan ternyata jumlah anggotanya juga terbesar di dunia.
;
Setelah Gus Dur berhenti dari jabatan Ketum PBNU, para ulama NU memandang Gus Mus sebagai orang yang pantas menggantikannya. Tapi beliau selalu menolaknya. Ketika para ulama NU mendirikan PKB, hampir semua ulama NU menganggap beliau juga yang layak menjadi ketuanya. Dan beliau juga tidak mau. Kemudian yang paling mutakhir, pada Muktamar NU di Jombang kemarin, semua ulama sepuh NU yang menjadi anggota Ahwa sepakat mengangkat beliau sebagai Rais Am atau pimpinan tertinggi organisasi ulama terbesar ini. Beliau juga tetap tidak bersedia karena merasa tidak pantas.
Coba anda pikirkan, jangankan untuk menjadi Rais Am PBNU, untuk menjadi pimpinan tingkat kabupaten, bahkan kecamatan saja, ada sekian banyak orang yang ngaku ulama yang rebutan, bahkan menghalalkan segala cara untuk menggapainya. Menjadi Rais Am itu sangat sangat sangat bergengsi dan menjadi impian banyak orang yang merasa mampu dan pantas. Maka bagi saya, orang seperti ini, mau disebut apalagi kalau bukan Sulthanul Ulama. Sikap seperti ini tidak bisa dimiliki kecuali oleh orang yang benar-benar dekat dengan Gusti Allah, kuat keyakinan, dalam ilmunya dan benar-benar mengerti dunia dan akhirat. Beliau bukan sekadar manusia tapi pasca-manusia.
Banyak orang yang berilmu tinggi tapi belum manusia atau baru menjadi manusia. Coba lihat kehidupan Gus Mus, akses beliau itu tingkat internasional, tapi rumahnya sederhana, mobilnya hanyalah inova. Banyak orang yang ngaku ulama, aksesnya belum 1/4-nya beliau, tapi rumahnya megah, mobilnya mewah dan banyak, di tengah-tengah ummat Islam yang masih miskin dan melarat. Beliau pernah punya ipar menteri agama, tapi tidak pernah memanfaatkannya untuk kemegahan pondoknya. Sementara itu banyak kiai yang setiap saat mencari celah untuk bisa dekat pejabat dengan dalih membesarkan pondoknya.
Saat ini banyak kiai atau ngaku ulama yang terjebak, alasannya membesarkan pondok, meningkatkan pelayanan kepada santri, lalu terlibat praktik-praktik kotor bekerjasama dengan para koruptor atau berbagi keuntungan dengan sistem prosentase. Gus Mus juga bisa, tapi menjauhinya. Lalu mau disebut apalagi kalau bukan sebagai Sulthanul Ulama zaman ini.
Oleh: KH. Ahmad Muzammil