Oleh: Mohd Aoun (Mesir)
Pertemuan Gurunda Grand Syaikh al-Azhar dengan PBNU (02/05/2018), sangat indah dan inspiratif. Saya hanya berharap tidak ada yang menunggangi statemen-statemen beliau yang menyejukkan itu demi kepentingan politik oknum Indonesia yang kasar dan kotor. Malu dong katanya Islam Indonesia, Islam Nusantara tapi kok mengambil statemen yang sesuai kepentingannya saja, dilepaskan dari paradigma beliau dan hasrat beliau untuk merekatkan umat, berdiri di atas dan untuk semua golongan.
Dalam setiap peristiwa monumental akan selalu ada narasi besar atau yang dibesar-besarkan, tidak heran kalau menjadi viral di media sosial ataupun media massa cetak dan elektronik. Mungkin salah satu faktornya karena sejalan dengan tuntutan aktual pada ruang dan waktunya.
Di sisi lain, selalu ada pula yang “tidak tertangkap”, “tidak terbaca” dan karena itu “tidak tertulis”. Status-status sederhana ini hanya mencoba menuliskan apa yang mungkin terlanjur luput dari persepsi (tak tertangkap) dan kemudian tak terekspos. Anggaplah sebagai upaya “Kitabat maa lam yuktab” (mendokumentasikan apa yang tak tertulis), sependek yang berkembang selama dua hari ini. Mumpung masih hangat.
Salah satu diantara yang kurang terekspos –mungkin karena tidak sesuai dengan “image” yang selama ini terlanjur banyak tersebar — adalah statemen Ketua Umum PBNU, Kang Said Aqil Siradj, dalam kata pengantarnya: bahwa Nahdlatul Ulama yang beliau pimpin adalah organisasi sosial-kemasyarakatan yang mempunyai basis teologis akidah Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, beribadah sesuai dengan ajaran Madzhab Empat, dan bertasawuf sesuai dengan teladan Imam al-Junaid al-Baghdadi dan Hujjatul Islam al-Ghazali.
“NU adalah organisasi yang tidak Wahabiyah, tidak liberal dan tidak Syiah,” tegas beliau. Dan penegasan ini penting –menurut hemat saya– untuk digarisbawahi.
Beliau juga melanjutkan bahwa NU adalah organisasi yang mengusung Islam Nusantara sebagai sebuah karakteristik umum dan faktor pembeda. Islam Nusantara adalah pengejawantahan daripada ketiga basis (teologis, amal-ubudiyah, dan akhlaq spiritual) dalam kehidupan sehari-hari setiap individu muslim kawasan Asia Tenggara dan juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hingga menjadi Islam yang tawassuth, tawazun dan i’tidal. Karena Islam di bawah ke Indonesia oleh para wali dengan ajaran kedamaian, suri teladan yang mulia hingga mampu meng-Islamkan sebagian besar kawasan ini hanya dalam masa lima puluh tahun saja. Untuk gampangnya Islam Nusantara sebagai pembeda adalah Islam yang lembut, berakhlaq mulia, tidak memecah-belah; Islam yang anti kekerasan dan ekstremitas. Islam yang membangun, bukan menghancurkan.
Sekali lagi, menurut saya ini sangat penting untuk digarisbawahi.
Respon Grand Syaikh al-Azhar terhadap Islam Nusantara
Terus-terang saya sangat menikmati dialog yang berlangsung di gedung PBNU tersebut; dialog yang mempertemukan dua karakter yang berbeda. Kiai Said mempunyai karakter yang ceplas-ceplos meledak-ledak, padahal merepresentasikan Islam Nusantara yang katanya lemah-lembut dan adem. Sedangkan Grand Syaikh al-Azhar, Guru Mulia Prof. Dr. Ahmad ath-Thayyib orangnya kalem dan pembicaraannya runtut, padahal merepresentasikan Islam Arab yang dianggap kasar dan pemarah.
Karakter Kang Said menciptakan suasana segar dan hangat, sedangkan gaya Grand Syaikh al-Azhar membuat pembicaraan tetap fokus terkendali. Kalau diumpamakan, hal ini bagaikan pertemuan unsur Yin dan Yang (meminjam istilah Filsafat China Klasik) yang membentuk kesatuan yang padu. Tidak heran kalau Grand Syaikh al-Azhar merasa seperti di rumah sendiri, berkali-kali protokoler hendak menyudahi acara, tapi Grand Syaikh al-Azhar malah yang minta waktunya ditambah untuk dialog dengan para hadirin saat waktu terus beranjak larut.
Mungkin salah satu faktor yang mendorong terwujudnya chemistry antara beliau berdua adalah karena beliau berdua satu jurusan spesialiasi keilmuan dan satu kecenderungan sufistik. Sebagai seorang professor Teologi dan Filsafat Islam yang bertemu dengan kolega sejurusan, tidak heran kalau GSA sering menyelipkan terma-terma filsafat yang cukup berat bagi pemirsa awam, sebagaimana akan diekspos dalam rangkaian status ini, insya Allah.
“Ijinkan saya menjawab candaan yang hangat ini dengan candaan yang lain,” dawuh Grand Syaikh al-Azhar. Andaikan Allah Ta’ala mengutus seorang nabi (berdasarkan karakteristik umum sebuah bangsa), pastilah Dia akan mengutus nabi tersebut di Indonesia, dari kalangan kalian (NU), hehehe…
Tetapi Allah Ta’ala telah berkehendak untuk mengutus seorang nabi terakhir yang membawa kerasulan untuk semua umat manusia; tanpa disekat oleh batas kebangsaan, ruang dan waktu. Berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya yang kerasulannya dibatasi oleh komunitas bangsa tertentu, tempat tertentu bahkan waktu tertentu.
Ajaibnya, Nabi terakhir yang diutus membawa rahmatan lil ‘alamin ini berasal dari bangsa Arab yang katanya mempunyai karakteris umum yang begundal, kasar dan suka menumpahkan darah. Maka, secara teologis kita wajib mencintai dan mengikuti Nabi Muhammad yang berasal dari bangsa Arab tersebut; keimanan kita menjadi tidak sah dan tidak benar tanpa itu.
“Jangan lupa pula, yang membawa Islam damai ke sini adalah orang Arab. Andaikan tidak ada mereka ke sini, mungkin sampai sekarang anda semua bukan beragama/bermadzhab Islam apapun; mungkin kita akan berjumpa sekarang ini dan anda semua menganut madzhab apa ya namanya, mungkin madzhab Asia Tenggara (kuno)!” Canda Grand Syaikh al-Azhar sambil tersenyum.
Kemudian Grand Syaikh al-Azhar berpendapat bahwa semua karakteristik dan distingsi (faktor/variabel pembeda) daripada Islam Nusantara (yang dipaparkan oleh Kang Said) adalah kesejatian agama Islam itu sendiri. Itulah yang menggabungkan kita semua dalam koridor “saling menghormati dan menjaga siapapun yang shalat seperti kita, menghadap kepada kiblat yang sama, dan memakan makanan yang kita sembelih…”
Kesejatian Islam tersebut kemudian mengejawantah/termanifestasikan dalam tindakan sehari-sehari manusia muslim, baik dalam konteks individual dan maupun dalam konteks bermasyarakat dan bernegara. “Tentu saja saya datang ke sini tidak bermaksud untuk mengajarkan apa yang menjadi adat-kebiasaan di tempat saya, apalagi kalau melihat bahwa sekarang kawasan Arab (bahkan dunia Islam secara umum) secara sosial-politik sedang bermasalah,” kata beliau.
Akan lebih penting, menurut beliau, untuk menekankan: jangan sampai perbedaan antar setiap bangsa dan golongan muslim menghalangi kita untuk saling menghormati, apalagi sampai merendahkan bangsa lain, apalagi sampai memonopoli kebenaran dan mengkafirkan pihak lain.
“Apapun yang terjadi, saya anti orang yang merasa lebih tinggi dari orang lain, saya anti monopoli kebenaran, saya anti takfir. Tidak ada yang bisa mengeluarkan seorang muslim dari status keislamannya kecuali mengingkari apa yang membuatnya masuk sebagai seorang muslim,” tegas beliau.
Grand Syaikh al-Azhar juga menegaskan bahwa kita tidak bisa menegasikan adanya perbedaan bangsa dan aliran pemikiran. Semua madzhab ada, dan biarlah itu tetap ada, tidak perlu dipaksakan jadi satu. “Biarlah Salafisme itu ada, biarlah Sufisme ada, biarlah Syiah itu ada…” Menurut Grand Syaikh al-Azhar, hal itu adalah keniscayaan historis! “Bahkan biarlah Madzhab Azhary itu ada, biarlah pula Madzhab Nahdliyin juga tetap ada. Yang penting kita semua bisa bersinergi dalam ko-eksistensi!”
Lebih jauh Grand Syaikh al-Azhar berpendapat, orang yang memaksakan penyatuan semua aliran Islam itu adalah orang yang keislamannya masih berkualitas anak-anak; mereka melihat dunia hanya berwarna hitam putih: kalau anda tidak benar berarti salah, kalau anda bukan golongan kami berarti musuh kami! Islam yang dewasa menurut Grand Syaikh al-Azhar adalah Islam yang merangkul dan tidak meminggirkan. “Ya, saya berbeda dengan anda, tetapi saya tetap menghormati anda dan menyayangi anda sebagai saudara seagama!” Pungkasnya.
https://www.youtube.com/watch?v=M6jFkyZA0oE