Oleh: Mohd Aoun (Mesir)
Suasana yang santai penuh kekeluargaan membuat Grand Syaikh al-Azhar tak seperti biasanya membuka diri. Beliau bercerita bahwa sejak kecil hidup di keluarga yang teguh beragama menurut paham tradisional, sehingga (hapal Alquran dan) menguasai ilmu-ilmu Islam dasar bermadzhab Maliki. Di sisi lain, lingkungan tempat beliau tinggal (Luxor) adalah kawasan wisata internasional yang membuat beliau berkesempatan berinteraksi langsung dengan para turis dan budaya berbeda. (Tak heran kalau tokoh muslim paling berpengaruh di dunia ini sampai mampu menguasai 8 bahasa asing secara aktif).
Beliau lalu ke al-Azhar dan mendapatkan bahwa metodologi yang dikembangkan di al-Azhar mendidik santri-santrinya menjadi manusia muslim yang inklusif. “Sebab, mulai dari pelajaran yang paling pokok dan sederhana (hingga pelajaran tingkat tinggi), kita diajari bahwa selalu ada perbedaan pendapat di dalamnya. Rasulullah Saw. mengajarkan cara salat kepada semua sahabat beliau, yang pada gilirannya sampai kepada para imam dan guru kita. Semuanya bersepakat bahwa salat (lima waktu) itu wajib, dimulai dari takbir sampai ke salam. Tetapi sesudah itu para imam dan para ulama berbeda pendapat hampir dalam setiap detail ibadah salat.”
Dawuh Grand Syaikh al-Azhar ini seakan ingin menegaskan bahwa semuanya benar karena ada landasannya, dan bahwasanya Islam satu tetapi pemahaman/madzhab umat Islam absah berbeda-beda.
Di sisi lain, di al-Azhar beliau belajar Teologi Asy’ariah yang tidak pernah mengkafirkan sesama muslim yang berpaham beda ataupun berbuat dosa. “Bahkan di al-Azhar saya mengaji kepada para guru besar yang bukan hanya berstatus sebagai ulama, mereka juga sekaligus adalah para wali sufi. Ya betul, saya serius, mereka memang para wali sufi. Berkat mereka, saya tidak pernah terasing dalam sekat-sekat ilmu pengetahuan Islam: filsafat, teologi, tafsir dan hadits (menjadi satu kesatuan yang komprehensif)!”
Sebagaimana diketahui, Grand Syaikh al-Azhar kemudian melanjutkan pendidikannya di Sorbonne, Perancis, sebelum kembali ke al-Azhar untuk mendapatkan master keduanya dan menyelesaikan jenjang doktoralnya.
Maka, bertolak dari sikap saling menghormati keberagaman dalam kerangka besar keseragaman, Grand Syaikh al-Azhar mengajak Kang Said, NU dan komunitas Islam Nusantara (Madzhab Nahdhiyin) untuk bersinergi dengan al-Azhar untuk mengangkat nilai-nilai moderat dalam Islam; bersama-sama menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia.
“Kang Said, anda seorang Azhary, apa bukan? Oh anda tamatan Ummul Qura, ya?”
Setelah Kang Said menimpali bahwa beliau belajar kepada para Professor dari al-Azhar di sana, Grand Syaikh al-Azhar berkomentar bahwa ada masa bahwa di sana lebih baik dari masa-masa sesudahnya. (Di saat para professor tadi masih mengajar di sana, dibandingkan sesudah paham Wahabi dipaksakan secara rigid). Beliau terlihat menerima bahwa Kiai Said adalah seorang yang tumbuh besar dalam pendidikan berpaham Asy’ariah dan mempunyai kecenderungan Asy’ariah yang berakidah lima puluh dan tidak mengkafirkan orang, meskipun gelar master dan doktoralnya didapatkan dari Saudi Arabia.
“Kang Said, apakah anda sudah mengaji kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat yang dianggit oleh Ibnu Sina kepada beliau (Alm. Prof. Sulaiman Dunya)? Di kitab tersebut ada pembahasan tentang (teori emanasi Aristotelian), Aktif Agens (al-‘Aql al-Fa’al) dan Poeilitis/Produktif Agens (al-‘Aql al-Mudabbir)”.
Sedikit penjelasan, bahwasanya Intelektus Agens (al-‘Aql al-Fa’al) dan Produktif Agens (al-‘Aql al-Mudabbir) dalam filsafat Peripatetik Sinawiyan adalah entitas transendental (ghaib/melangit) yang berbeda tapi seperti dua sisi mata uang. Intelektus Agens menerima ilham, data dan instruksi dari Tuhan, sedangkan Produktif Agens mewujudkannya dalam dunia nyata.
Lalu beliau hendak mengalihkan penerapan konsep yang melangit tadi kepada aktivitas sinergis yang membumi. “Kang Said, tipikal anda lebih dekat sebagai seorang yang aktiv agens atau produktif agens? Mmm… Insyaallah anda adalah seorang aktiv agens.”
Dawuh beliau seakan menyiratkan bahwa Kang Said adalah tipikal pemimpin yang mengilhami, menginspirasi dan menggerakkan, bukan murni pelaksana/manajer lapangan.
Maka, karena itu beliau pun mengajak, “Kang Said, kita adalah sama, kita adalah satu. Selama saya masih hidup maka saya akan memback-up anda…!”
Grand Syaikh al-Azhar pun meminta agar Kang Said membawa NU mendunia, bersama al-Azhar menjembatani perbedaan antarumat, melakukan disseminasi terhadap genre Islam yang damai dan merekatkan, bukan paham Islam yang memecah-belah.
Dan sebagai pernyataan keseriusan (statement of intent), beliau langsung memberikan buah-tangan berupa 30 beasiswa untuk 20 calon mahasiswi dan 10 calon mahasiswa, dengan perbandingan 2/3-nya akan diarahkan ke fakultas-fakultas non-agama seperti kedokteran, teknik, farmasi dan lain-lain. Belakangan jumlah beasiswa ini ditambah menjadi 80 beasiswa. Beliau dan al-Azhar juga akan membuka jalan bagi Kang Said dan NU untuk bisa berkiprah lebih jauh di gelanggang internasional.
https://www.youtube.com/watch?v=M6jFkyZA0oE