BANI ABBASIYAH
Dinasti Abbasiyah berdiri Tahun 132 Hijriyah bersamaan Tahun 750 Masehi. Abbasiyah berdiri antara lain dilatarbelakangi mulai merapuhnya kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus. Kala Bani Umayyah menghadapi berbagai konflik, Bani Abbasiyah maju sebagai pengganti kepemimpinan umat Islam.
Wajah revolusi kepemimpinan Abbasiyah terhadap Umayyah banyak mendapatkan simpati dari masyarakat, terutama dari kalangan Syi’ah. Dukungan itu hadir disebabkan janji untuk menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikkan oleh Khulafaurrasyidin. (Abdurrahman, 2003: 118). Nama Dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi Muhammad yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas. (Yatim, 2008: 49).
Bani Abbas adalah keturunan dari al-Abbas paman Rasulullah Saw. Pada dasarnya selama abad pertama hijriyah, keturunan al-Abbas sama sekali tidak pernah berniat untuk memegang kekhalifahan, mereka hanya memusatkan dukungan kepada keturunan Ali ibn Abi Thalib serta memperjuangkan hak mereka atas khilafah. (Ibrahim Ahmad al-Adawiy, 1982: 195).
Periode kepemimpinan Bani Abbasiyah relative panjang sekira 524 tahun, mulai Tahun 132 H/750 M hingga 656 H/1258 M. Masing-masing khalifah memiliki karakteristik gaya kepemimpinannya. Fuad Riyadi dalam Perpustakaan Bayt Al-Hikmah, The Golden Age of Islam (Jurnal Perpustakaan Libraria Volume 2 Nomor 1 Januari-Juni, 2014: 99), menjelaskan: Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, ahli sejarah membagi masa pemerintahan Daulah Abbâsiyah menjadi lima periode: (1) Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama. (2) Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama. (3) Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbâsiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. (4) Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbâsiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung). (5) Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Sebagai sebuah kekhalifahan, Dinasti Abbasiyah memiliki prestasi bagi berkembangnya Agama Islam. Bahkan dapat dikatakan periode dinasti abasiyyah merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang, khususnya bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Fuad Riyadi (2014: 99) menyampaikan bahwa Pada masa ini umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan, sehingga mengalami kemajuan pesat. Pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara menerjemahkan berbagai buku karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti buku-buku karya bangsa Yunani, Romawi dan Persia. Berbagai naskah yang ada di kawasan Timur Tengah dan Afrika seperti Mesopotamia dan Mesir juga menjadi perhatian.
Meski memiliki prestasi, Dinasti Bani Abbasiyah juga memiliki kekrangan yang pada akhirnya menyebabkan kemunduran kekhalifahannya. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbâsiyah sehingga banyak daerah memerdekakan diri menurut Fuad Riyadi (2014: 106-107) adalah: (1) Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah. (2) Profesionalisasi angkatan bersenjata membuat ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi. (3) Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad. (4) Posisi-posisi penting negara dipercayakan kepada ahli bid’ah, khususnya jabatan wazîr (perdana menteri) dan penasihat yang diserahkan kepada Syi’ah. (5) Penyakit wahan (cinta dunia dan takut mati) yang menguasai para penguasa dan jajarannya.
KELEMBAGAAN HISBAH
Periode Abbasiyyah, Hisbah sudah melembaga seperti pemerintahan lainnya. Structural Hisbah berada di bawah lembaga peradilan (qadha). Hisbah waktu itu menjadi sebuah tuntutan berlangsungnya kekhalifahan. Pasalnya, Pertama luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah.
Luasnya wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah mengakibatkan banyaknya pemasukan terhadap Negara, hal ini menjadikan perlunya pengaturan keuangan Negara sehingga terbentuklah Lembaga-lembaga keuangan negara seperti (a) diwān al-khazanah yang bertugas mengurus perbendaharaan negara, (b) diwān al-azra’u yang bertugas mengurus kekayaan negara yang berupa hasil bumi; dan (c) diwān al-khazāin al-silat yang bertugas untuk mengurus perlengkapan angkatan perang. Hal diatas tentu berakibat terhadap luasnya lingkup tugas serta fungsi lembaga hisbah tersebut dalam kaitanya menyeru kepada kebaikan dan meninggalkan larangan agama. (Ririn Noviyanti, 2015: 37).
Kedua, terbentuknya lembaga-lembaga (diwan) oleh penguasa sebelumnya. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, dari sisi Lembaga keuangan saja telah ada beberapa diwan.
Sedangkan untuk wilayatul hisbah masuk kategori otoritas penegakan hukum. Otoritas tersebut bersamaan dengan dua badan lain yakni wilayatul qadha (badan yang berwenang menyelesaikan sengketa antara sesama rakyat) dan Wilayatul Mazhalim (badan yang berwenang menyelesaikan sengketa ketatausahaan negara serta sengtketa antara pejabat dengan rakyat, atau antara bangsawan dengan rakyat biasa). (Mariadi, 2018: 82)
Dari sisi Perkembangannya, Hisbah di periode Bani Abbasiyah dapat dipaparkan sebagai berikut: Pertama, wilayah al-ḥisbah menjadi Institusi yang Independen sebagai suatu lembaga yang menangani persoalan al-amr bi al-ma’rūf wa nahy ‘an al munkar khalifah Daulat Abasiyah. (Ririn Noviyanti, 2015: 38). Kedua, Pelembagaan hisbah secara lebih modern dan terstruktur dilakukan pada masa Khalifah al-Mansur dengan menunjuk Yahya ibn Abdullah sebagai mu’tasib pada tahun 507 H (Ririn Noviyanti, 2015: 38).
Ketiga, perkembangan hisbah di masa Daulah Abbasiyah nampak menonjol dalam bidang ilmiah di banding praktiknya, hal ini tebukti dengan intensnya diskusi mengenai hisbah oleh para Ulama-ulama pada zaman ini, seperti Abu Yusuf, Ibn Taymiyah, Imām Al-Māwardi, Imām Al-Ghazāli, Ibn Khuldun dan lain sebagainya. Karya-karya inilah yang dapat dijadikan pijakan oleh para Ilmuan Muslim untuk mengkaji tentang praktik hisbah dimasa itu. (Begitu pentingnya peranan hisbah dalam perekonomian tercermin dari banyaknya ulama’ yang tertarik untuk membahas perihal hisbah, diantaranya Imām al-Māwardi (w.450/1058), Abu Ya’la (w.458/1065), Imām al-Ghazāli (w.505/1111), Ibn Hazm (w.456/1064), Abdurrahman al-Syayzari (w.589/1193), Ibn Taymiyyah (w.728/1328 ), Ibn al-Ukhuwwa (w.729/1329), al-Nuwayri (w.732/1332), Ibn Khuldun (w.808/1406) dan alMaqrizi (w.846-1442). (M. Umer Chapra, 2008: 78).
Keempat, Selain mengawasi pasar dan ketertiban umum, muhatasib juga mengawasi produsen bahan makanan dan minuman, pertukangan, perindustrian, dan lain-lain untuk memastikan produk mereka berkualitas baik. (Marah Halim, 2011: 76)
Hisbah (pengawasan) di era DInasti Bani Abbasiyah telah menemukan format yang lebih baik dari sisi kelembagaan. Secara otomatis tugas, fungsi dan kewenangannya akan lebih jelas. Wallahu a’lam.
Ikbal Faizal, Ketua Bawaslu Kab. Tegal