Kudus_NU Tegal- Upaya membangkitkan kesadaran berkebudayaan di kalangan masyarakat Nahdliyin dan masyarakat Nusantara pada umumnya harus digerakkan secara integral dan berkelanjutan. Sehingga hal ini bisa menjadi program kerja bersama dalam kerangka menguatkan kedaulatan bangsa.
Pernyataan tersebut mengemuka pada kegiatan diskusi kebudayaan yang diprakarsai pengurus Lesbumi PWNU Jawa Tengah dengan tajuk “Lokakarya Manajemen Organisasi Seni-Budaya Islam”, belum lama ini di Aula Hotel Proliman di Jl. Bhakti No.5, Barongan, Kec. Kota Kudus, Kab. Kudus. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Lesbumi PWNU Jawa Tengah dengan Kemendikbud Republik Indonesia.
Ketua Umum Lesbumi PBNU K.H. M. Jadul Maula yang menjadi salah satu Nara Sumber menyatakan, gerakan kebudayaan itu sesungguhnya menjadi medan jihad para pegiat Lesbumi. Sebab, secara substansial gerakan bagian dari upaya membangkitkan gairah kecintaan terhadap kedaulatan bangsa Indonesia.
“Berkebudayaan itu untuk menguatkan jiwa-jiwa yang merdeka dan menghidupkan kesadaran akan jati diri bangsa. Spirit nasionalisme dapat dibangun melalui gerakan berkebudayaan,” tutur Kyai Jadul Maula, yang juga merupakan pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak Yogyakarta.
Dikatakan, bahwa dewasa ini berbagai tantangan kehidupan kebangsaan kita semakin abstrak. “Saat ini kita cenderung lebih memuja sesuatu yang bersifat verbal, sehingga melupakan yang substansial. Melupakan energi kedaulatan kultural yang telah terpatri dalam jiwa kita,” tambah Kyai Jadul.
Oleh sebab itu, masih kata dia, para pegiat Lesbumi harus serentak menginsiasi gerakan berkebudayaan ini karena sejatinya senafas dengan seruan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945.
“Hidup berkebudayaan adalah jalan hidup yang menjadikan jiwa atau ruh sebagai titik pijak, yang kemudian pemihakannya pada dimensi kehidupan sosial kemasyarakatan,” tambahnya.
Secara terpisah, M. Shafei Pahlevie yang juga menjadi Nara Sumber pada kegiatan lokakarya tersebut mengungkapkan, upaya menghidupkan spirit berkesenian dan berkebudayaan meniscayakan adanya beberapa unsur pendukung. Selain memiliki kemampuan praksis personal juga adanya penerimaan dari masyarakat pendukungnya.
“Gerakan semacam ini memerlukan beragam gagasan yang saling bersinergi, yang kemudian dikolaborasikan menjadi gerakan atau perhelatan yang menyatu. Tidak berjalan sendiri-sendiri,” ucap dia.
Selain itu, lanjut dia, kebutuhan adanya resource bagi kegiatan berkesenian dan berkebudayaan itu mengharuskan para pegiat seni budaya untuk membuka diri dan membangun koneksitas dengan para steakholder.
“Pelibatan steakholder ini bukan semata-mata untuk membantu memberikan pendanaan, tapi lebih dari itu adalah sebagai pihak yang menjadi bagian dari tim penggerak motivasi dan edukasi bagi pengembangan program seni-budaya,” tegasnya. ***
Redaktur