Kata “hisbah” secara bahasa berasal dari kata hasaba-yahsubu-hasban-hisabân-hisbânan- husbânan-hisbatan-hisâbat-an, yang berarti upah dan balasan (al-ajr wa al-thawâb) (Louis Ma’lûf, al-Munjîd fî al-Lughah wa al-A‘lâm, 1986). Secara Istilah hisbah menurut Imām Al-Māwardi yang dikutip oleh Ririn Noviyanti dalam jurnal Millah Vol. XV, No. 1, Agustus 2015, didefinisikan dengan “menyuruh kepada kebaikan jika terbukti kebaikan ditinggalkan diamalkan, dan melarang dari kemungkaran jika terbukti kemungkaran dikerjakan.”
Sedangkan Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Akhmad Mujahidin dalam Jurnal Al-Iqtishad: Vol. IV, No. 1, Januari 2012 mendefinisikan hisbah dengan “tugas keagamaan yang termasuk dalam daerah menyuruh pada kebenaran dan melarang pada kemungkaran. Kewajiban seperti ini terpusat pada permasalahan kaum muslimin.”
Hisbah tradisinya telah berjalan sejak zaman Rasulullah SAW. Meskipun baru terlembagakan di zaman khalifah Umar ibn Khattob. Tradisi hisbah ini di zaman Rasulullah tergambarkan dengan fungsi pengawasan pada kebiasaan Rasulullah mengawasi perdagangan masyarakat di pasar. Rasul biasa mengingatkan kaumnya saat itu untuk tidak berbuat curang di timbangan, tidak berbuat riba, menimbun barang, dan lainnya.
Setelah Nabi Muhammad SAW. diangkat menjadi rasul, peran beliau benyak bergeser ke pasar menjadi muhtasib. Dengan peran ini beliau mengawasi jalannya mekanisme pasar agar tetap berlangsung secara islami. (Akhmad Mujahidin, 2012) Tradisi mengawasi Kemudian dilanjut pada periode setelah Nabi yakni di zaman khulafaurrosyidin, dinasti Umayah, dinasti abasiyah hingga Turki Usmani.
Dalam sejarah ditemukan Muhtasib pertama yang diangkat Nabi Muhammad SAW. Adalah Umar ibn Khattab yang ditugaskan untuk pasar Madinah, dan Sa‘id ibn al-‘As ibn ‘Umayyah yang ditugaskan untuk pasar Mekkah. Kedudukan muhtasib waktu itu setara dengan jabatan lain yang diangkat Nabi seperti panglima perang, amir, dan lain-lain.
Secara konsep hisbah telah ada sejak masa Nabi. Kemudian konsep ini dimatangkan secara teoritis oleh para sarjana Islam seperti al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Taymiyyah, dan lain-lain. Mereka mengkaji konsep hisbah dengan berbagai pendekatan keilmuan. Sebagai kajian akademik yang bersifat teoritis, tentu saja konsep mereka bersifat idealistik, yang mana seharusnya lembaga hisbah diberikan kedudukan dan ke-wenangan yang tinggi dalam sistem pemerintahan Islam. (Marah Halim, 2011).
Hal ini menunjukkan bahwa hisbah merupakan lembaga penegak hukum yang bertugas melaksanakan amar ma‘rûf nahî munkar dengan wewenang tersendiri di luar wewenang qadhâ (Hakim), mazhâlim (Peradilan), maupun lembaga lainnya. Penjabaran dari tanggung jawab tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam.
Pertama, tanggung jawab yang berkaitan dengan hak-hak Allah, yaitu pengawasan terhadap masyarakat dan memfasilitasi aktivitas keagamaan mereka seperti memerintahkan salat lima waktu, Jumat, ‘Id, dan pemeliharaan masjid. Kedua, tanggung jawab yang berkaitan dengan hak-hak manusia yaitu menaruh perhatian besar terhadap implementasi prinsip keadilan dalam masyarakat, seperti pengawasan terhadap akurasi timbangan dan takaran, serta inspeksi harga dan barang di pasar. Ketiga, tanggung jawab yang berkaitan dengan hakhak Allah dan manusia yaitu pengawasan terhadap administrasi dan pelayanan umum, seperti memelihara kondisi jembatan, kebersihan jalan raya, mengadakan ronda, dan tindakan preventif terhadap pelbagai fasilitas umum agar tetap terpelihara dengan baik. (Akhmad Mujahid, 2012)
Fungsi pengawasan di zaman Rasulullah menjadi strategis karena pertama, nabi Muhammad sebagai pembawa risalah menjadi figur sentral tradisi islam. Kedua, penataan pola muamalah yang baik sebagai teladan untuk umatnya. Ketiga, menjadi ruang pembelajaran tradisi umat setelah nabi. Keempat, memberikan ruang untuk memperkuat hukum baru dalam dunia muamalah.
Muhtasib merupakan perantara untuk mencegah kejahatan dan mewujudkan kebaikan. Ia bertanggung jawab atas kesejahteraan islami masyarakat biasa. Karena dalam Islam perhatian material duniawi dan spiritual ukhrawi membentuk kesejahteraan, maka yurisdiksi muhtasib tidaklah terbatas. Semua yang ditetapkan Allah dan semua yang secara hukum diakui manusia sebagai keinginan, menjadi perhatian muhtasib. Ini juga mencakup pencegahan setiap kejahatan. (Akhmad Mujahid, 2012) Hisbah dalam penerapannya menyangkut berbagai hal termasuk sesuatu yang mendasarkan pada setiap sesuatu yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia maka itu menjadi objek pengawasan.
Hisbah ada yang bersifat struktural dan ada yang bersifat sukarela. Structural berarti yang diangkat oleh yang berwenang. Sedangkan sukarela itu siapapun yang mau untuk menjalankan fungsi hisbah, meskipun ada perbedaannya dalam tugas dan wewenangnya. Baik structural maupun sukarela pada prinsipnya bermuara pada amar ma’ruf nahi munkar.
Jika melihat arti secara istilah hisbah itu menuju kepada kemaslahatan umat (kebaikan masyarakat). Sebagaimana Said Aqiel Siradj (1999) menyampaikan Kemaslahatan dalam Islam diproyeksikan untuk memelihara tujuan syariat (hukum Tuhan), yakni meliputi lima prinsip universal (kulliyatul khams), menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din), memelihara kelangsungan hidup (hifdz al-nafs), menjamin kreatifitas berfikir dan kebebasan berekspresi serta mengeluarkan opini (hifdz al-‘aql), menjamin pemilikan harta dan property (hifdz al-mal) dan menjamin kelangsungan keturunan, kehormatan serta profesi (hifdz al-nasl wal-‘irdl).
Dalam hisbah orang yang mengerjakan hisbah disebut muhtasib. Hisbah juga memiliki rukun. Rukun hisbah menurut al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din adalah: 1) Muhtasib (petugas hisbah); 2) Muhtasab Fih (perbuatan yang menjadi objek hisbah); 3) Muhtasab ‘Alaih (pelaku yang ditujukan kepadanya hisbah); dan 4) Ihtisab (bentuk-bentuk hisbah).
Al-Ghazali juga menetapkan syarat bagi masing-masing rukun tersebut. Al-Ghazali membagi obyek pengawasan menjadi beberapa bentuk: 1) kemungkaran di masjid; 2) kemungkaran di pasar 3) kemungkaran di jalan; 4) kemungkaran di tempat pemandian umum; 5) kemungkaran dalam pesta; dan 6) kemungkaran umum lain seperti kewajiban memperbaiki diri sendiri kemudian orang lain.
Jika hisbah merupakan Langkah pengawasan yang disesuaikan dengan keinginan masyarakat sebagaimana dipaparkan di atas. Pemilu merupakan hajat hidup orang banyak. Pemilu juga mengandung unsur dimensi perintah Allah dan dimensi social. Dimensi perintah Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Sedangkan dimensi sosialnya dapat kita mulai dengan kaidah “al-amru fi syai’ amrun bi wasailihi.” Kalimat tersebut mengandung arti perintah pada sesuatu berarti perintah kepada perantara sesuatu tersebut. Perintahnya adalah tata negara yang baik dalam hal ini kemaslahatan umat. Pemilihan pemimpin dan wakil rakyat adalah upaya untuk menjadikan tata negara yang baik maka pengawasan pemilu juga menjadi sesuatu perintah.
Berbicara tentang Pengawasan Pemilu. Pengawasan secara bahasa berarti penilikan dan penjagaan. Sedangkan Pemilihan umum berarti pemilihan yang dilakukan serentak oleh seluruh rakyat suatu Negara (untuk memilih wakil rakyat tersebut) (KBBI, 2007). Jika dirangkai Pengawasan Pemilu dapat diartikan dengan penilikan dan penjagaan pemilihan yang dilakukan serentak oleh seluruh rakyat suatu Negara.
Pengawasan pemilu dilakukan oleh lembaga pengawas dan masyarakat. Kerja pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawasan (Badan Pengawas Pemilu) telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Dalam UU tersebut termaktub kerja pengawasan oleh Bawaslu dan kerja pencegahan pelanggaran pemilu dan sengketa. Disamping juga melakukan pencegahan pada praktek politik uang. Tentu itu semua dimaksudkan agar kemaslahatan umum terjaga dan tercapai. Karena melakukan pengawasan Pemilu berarti menjaga agar pemilu dilaksanakan secara bermartabat dan berkualitas.
Dari paparan di atas tak berlebihan jika dikatakan antara Hisbah dan pengawasan pemilu memiliki titik kesamaan dalam hal perintah kepada kebaikan dan melakukan pencegahan kepada pelanggaran. Untuk itu baik hisbah maupun pengawasan Pemilu jika dilaksanakan dengan baik akan bisa berkontribusi untuk kemaslahatan umat. Wallahu a’lam.
Ikbal Faizal, Ketua Bawaslu Kabupaten Tegal