Oleh Ikbal Faizal
SEKILAS TENTANG BANI UMAYYAH
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jasmerah)” demikian inti pesan Bung Karno saat pidato di depan MPRS, 17 Agustus 1966. Kalimat tersebut sering menjadi petikan ketika membicarakan tentang sejarah. Kenapa sih sejarah itu penting? Diantara jawabannya adalah karena sejarah dapat menjadi bekal menghadapi kehidupan sekarang dan kedepan. Ibarat mengendarai sepeda motor ataupun mobil itu butuh kaca sepion untuk melihat situasi di belakang. Demikian juga menjalani kehidupan juga perlu melihat perjalanan sejarah.
Membaca perjalanan sejarah Islam, tak akan lepas dari kehidupan Dinasti Bani Umayah. Keduanya saling melengkapi ibarat dua sisi dari satu mata uang. Keduanya saling mendukung, bukan saling bersaing untuk menghilangkannya. Kajian sejarah Islam tanpa melihat kehidupan Dinasti Bani Umayyah akan ada sesuatu yang hilang (missing link).
Nama Dinasti Bani Umayah diambil dari Umayah bin Abd AlSyam, kakek Abu Sufyan. Umayah segenerasi dengan Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW. dan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, Ali bin Abi Thalib segenerasi pula dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ali bin Abi Thalib berasal dari keturunan Bani Hasyim sedangkan Mu’awiyah berasal dari keturunan Bani Umayah. Kedua keturunan ini merupakan orang-orang yang berpengaruh dalam suku Quraisy. (Maidir Harun dan Firdaus, 2002: 83).
Kekhalifahan Bani Umayyah dimulai oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Setelah khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh, Hasan anaknya diangkat menjadi khalifah oleh kaum muslimin di Irak. Kemudian karena beranggapan kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan lebih kuat, Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaannya pada Muawiyah di meja perundingan dan perjanjian. Itulah awal deklarasi dan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat terhadap Dinasti Bani Umayyah.
Setelah mendapatkan pengakuan yang utuh sebagai khalifah, Muawiyah banyak melakukan program kerjanya. Dalam perjalanan kekuasaannya Muawiyah telah membalikkan realitas politik pemerintahannya ke system monarchi (kerajaan) dimana pergantian penguasa dilakukan secara turun temurun. Penandaan perubahan tersebut dapat dilihat saat Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia pada anaknya (Yazid) menduduki posisi putra mahkota. Yazid dipersiapkan menduduki jabatan kholifah. (Khoiro Ummatin, 2012)
Nama-nama yang pernah menduduki jabatan khalifah dalam Dinasti Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M), Yazid bin Muawiyah (60-64 H/680-683 M), Muawiyah bin Yazid (64-65 H/683-684 M), Marwan bin Hakam (65-66 H/684-685 M), Abdul Malik bin Marwan (66-86 H/685-705 M), Walid bin Abdul Malik (86-97 H/705-715 M), Sulaiman bin Abdul Malik (97- 99 H/715-717 M), Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M), Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724), Hisyam bin Abdul Malik (105- 125 H/724-743 M), Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M), Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M), Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M) dan Marwan bin Muhammad (127- 132 H/745-750 M) (Istian Aby Bakar, 2008: 49).
Masa Kekhalifahan Bani Umayyah tentu tak kosong dari torehan prestasi bagi perkembangan Agama Islam. Prestasi Bani Umayyah selain ekspansi wilayah adalah pembangunan fisik yang terdiri dari: Membangun pos-pos serta menyediakan kelengkapan peralatannya, Membangun jalan raya, Mencetak mata uang, Membangun panti asuhan, Membangun gedung pemerintahan, Membangun masjid, Membangun rumah sakit dan Membangun sekolah studi kedokteran. (Jousouf Souyb, 1977: 236)
Disamping prestasi, Daulah Bani Umayyah juga memiliki sisi kekurangan yang akhirnya menjadikan penyebab kemundurannya. Murodi (2009: 27-28) menyebutkan sebab-sebab kemunduran Daulah Bani Umayyah hingga enam macam yakni: Pertama, Khalifah memiliki kekuasaan yang absolute. Khalifah tidak mengenal kompromi. Menentang khalifah berarti mati. Contohnya adalah peristiwa pembunuhan Husein dan para pengikutnya di Karbala. Peritiwa ini menyimpan dendam dikalangan para penentang Bani Umayyah. Sehingga selama masamasa kekhalifahan Bani Umayyah terjadi pergolakan politik yang menyebabkan situasi dan kondisi dalam negeri dan pemerintahan terganggu.
Kedua, Gaya hidup mewah para khalifah. Kebiasaan pesta dan berfoya-foya dikalangan istana, menjadi faktor penyebab rendahnya moralitas mereka, disamping mengganggu keuangan Negara. Contohnya, Khalifah Abdul Malik bin Marwan dikenal sebagai seorang khalifah yang suka berfoya-foya dan memboroskan uang Negara. Sifatsifat inilah yang tidak disukai masyarakat, sehingga lambat laun mereka melakukan gerakan pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah.
Ketiga, Tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai sistem pengangkatan khalifah. Hal ini berujung pada perebutan kekuasaan diantara para calon khalifah. Keempat, Banyaknya gerakan pemberontakan selama masa-masa pertengahan hingga akhir pemerintahan Bani Umayyah. Usaha penumpasan para pemberontak menghabiskan daya dan dana yang tidak sedikit, sehingga kekuatan Bani Umayyah mengendur. Kelima, Pertentangan antara Arab Utara (Arab Mudhariyah) dan Arab Selatan (Arab Himariyah) semakin meruncing, sehingga para penguasa Bani Umayah mengalami kesulitan untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan serta keutuhan Negara. Keenam, Banyaknya tokoh agama yang kecewa dengan kebijaksanaan para penguasa Bani Umayah, karena tidak didasari dengan syari’at Islam.
WILAYAH HISBAH
Hisbah merupakan perbuatan memerintah kepada kebaikan dan melarang pada kemungkaran. Praktek hisbah ini biasa dilakukan Nabi Muhammad SAW. melalui pengawasan di pasar. Tradisi hisbah terus dipertahankan meski Nabi Muhammad SAW. telah wafat. Seperti di zaman kekhalifahan khulafaurrosyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Termasuk juga pada era kekhalifahan Bani Umayyah.
Di zaman kekhalifahan Bani Umayyah tradisi Hisbah antara lain dapat dilihat: Pertama, di era kekhalifahan HIsyam bin Abdul Malik (105 – 125 H/724-743 M). Hisyam mengangkat dua orang bersaudara sebagai Muhtasib di Irak. Dua orang tersebut adalah Dawud dan ‘Isa ibn ‘Ali ibn ‘Abbas. Kedua, di era Kekhalifahan Al-Walid. Al-Walid sering melakukan inspeksi ke pasar Damaskus. (Auni bin Haji Abdullah, 2000: 19)
Pada masa Daulah Umayyah wilayah hisbah telah mengalami perkembangan yang lebih luas. Pada masa inilah wilayah hisbah telah dibentuk menjadi sebuah kewenangan peradilan tersendiri yang terpisah dari pemerintahan khalifah. (Islahi, 1996: 188). Kedudukan Wilayat al-Hisbah di Kekhalifahan Bani Umayyah itu masuk dalam kekuasaan kehakiman (peradilan). Disamping juga kehakiman memiliki kewenangan lain yakni wilayat al-Qada’, dan Wilayat al-Mazalim.
Tugas kekuasaan (kewenangan) kehakiman di masa Bani Umayyah ini dapat diketegorikan menjadi tiga badan, yaitu; Pertama, al-Qadha, merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama. Disamping itu badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental. Kedua, al-Hisbah, merupakan tugas almuhtasib (kepala hibah). Dalam menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat. Ketiga, al-Nadhar fi al-Mazhalim, merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah dibawahnya al-qadha dan al-hisbah. Lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar Negara yang berbuat salah. (Alaiddin Koto, 2012: 80-82).
Dalam bahasa lain tentang kekuasaan kehakiman dalam tiga kategori adalah pemisahan ini berdasarkan kadar berat ringannya beban penyelesaian perkara. Kasus-kasus ringan menjadi kewenangan Wilayat al-Hisbah; yang lebih serius yang mengandung unsur persengketaan menjadi wewenang Wilayat alQada’. Sedangkan perkara berat atau pelanggaran pejabat negara atau keluarganya menjadi kewenangan Wilayat al-Mazalim.
Keberadaan kehakiman (peradilan) pada masa DInasti Bani Umayyah terpisah dengan kekuasaan pemerintah. Mekanisme penentuan seorang qadhi dipilih oleh khalifah yang menjabat kala itu. Seorang qadhi juga memiliki kewenangan memutus perkara.
Satu hal dapat dinyatakan bahwa Wilayat alHisbah (muhtasib) pada masa Dinasti Umayyah ini tidak terlembagakan. Muhtasib diangkat oleh khalifah dan lembaganya disebut Shahib al-Sauq (Iin Solikhin, 2005: 37). Wilayat al-Hisbah pada periode ini sudah menjadi satu lembaga khusus dari lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur dan mengontrol pasar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Meski wilayat al-Hisbah masuk dalam kekuasaan kehakiman (peradilan). Namun, pada pemerintahan Bani Umayyah itu tugas Hisbah tidak begitu jelas pemisahannya dari kepolisian biasa. Hal itu dilihat dari sisi mengawasi pasar dari tindakan penipuan. Di era Daulah Bani Umayyah ini ada badan yang disebut “Amil Suuq” (petugas pasar) . awalnya memiliki kewenangan terbatas pada soal timbangan yang dipergunakan di pasar serta pelanggaran-pelanggaran kecil yang dapat diselesaikan dengan segera, kemudian wewenangnya diperluas mencakup hal-hal yang bisa mempertahankan moralitas umat Islam. Hal ini tidak berlangsung lama, dan kembali lagi seperti pada awal pemerintahan Bani Umayyah, polisi hisbah bertugas mengawasi timbangan dan ukuran, mensahkan pembayaran hutang, mencegah terjadinya tindakan-tindakan terlarang seperti perjudian, eksploitasi minuman keras dan sebagainya. (Lucky Enggrani Fitri, 2012: 68)
Hisbah pada era Daulah Bani Umayyah tetap ada sebagai suatu tradisi dari Rasulullah SAW. Hisbah berkembang mencari penyempurnaan format. Meski di era Daulah Bani Umayyah Hisbah masih menjadi wilayah di bawah kekuasaan kehakiman, paling tidak ada perhatian dari kekhalifahan saat itu untuk tetap mempertahankan tradisi nabi. Wallahu a’lam.
Ikbal Faizal, Ketua Bawaslu Kabupaten Tegal.