Sekitar pertengahan tahun 2013, di Aula Madrasah Aliyah NU (MANU) Buntet Pesantren Cirebon, diadakan sebuah acara perpisahan. Saya termasuk di dalamnya. Kala itu, merupakan hari terakhir saya dan teman-teman mengenakan seragam putih abu-abu. Ada rasa bahagia merasuk ke jiwa. Tetapi pada saat yang sama, kesedihan juga melanda.
Pasalnya, kehidupan di kota (nantinya) jelas berbeda dengan keadaan di perdesaan. Di Buntet, selama 4 tahun saya tinggal, semua seragam. Manakala ada perselisihan, akan cepat diredam. Hal tersebut tercipta karena tokoh masyarakat, dalam hal ini kiai, dipandang sebagai orang yang sangat berpengaruh. Sebab, ulama dinilai sebagai perpanjangan tangan dari nabi. Saya pun meyakini demikian.
“Saya ucapkan selamat kepada seluruh siswa-siswi, baik MANU Putri maupun Putra, karena telah menyelesaikan sekolahnya. Saya berpesan, agar bekal yang kalian dapat di sini untuk dikembangkan di lingkungan masyarakat masing-masing. Kalian akan menemukan berbagai perbedaan; baik pendapat, sudut pandang, maupun cara beragama. Bersiaplah menghadapi itu semua,” demikian dawuh Ketua Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren Cirebon KH Adib Rofiuddin Izza, saat sambutan di hadapan ratusan siswa-siswi MANU BPC, sekitar 5 tahun lalu.
Hingga kini, pesan itu masih terngiang di pikiran saya. Semua yang diungkapkan salah seorang Mustasyar PBNU itu, betul adanya. Saya melihat ada ragam manusia di kota. Cara beragama yang unik, santai, keras, hingga ekstrem senantiasa mewarnai hari-hari saya. Di Kota Bekasi, tempat saya tinggal saat ini, ada warna-warni cara umat Islam beragama. Namun, ada satu yang menarik perhatian. Saya seringkali melihat orang-orang bercelana cingkrang. Di kota-kota besar, sangat jarang ada orang yang memakai sarung. Sangat kontras dengan kehidupan di Buntet, Cirebon.
Perbedaan itu, saya anggap sebagai bagian dari sunnatullah. Sebuah keniscayaan yang tidak akan pernah bisa diberangus. Semua punya cara masing-masing untuk menjalani kehidupan yang dianggapnya baik. Begitu pun dengan saya, dengan memakai sarung, saya merasa lebih dekat dengan guru-guru saya di sana. Dengan begitu, saya jadi merasa terawasi dan memiliki keinginan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Sebab, tak ada orang yang punya cita-cita buruk.
Celana cingkrang, berdasarkan informasi yang saya dapat, merupakan bagian dari kebudayaan yang lekat kaitannya dengan Rasulullah Muhammad SAW. Karenanya, tak jarang, orang-orang berbondong untuk mengenakannya dengan tujuan agar menjadi lebih dekat dengan kekasih Allah itu. Saya mengapresiasi hal itu. Memberi penghormatan kepada saudara, teman, kerabat, dan sahabat saya yang gemar menggunakan celana cingkrang.
Muhammad Ainun Najib, atau yang akrab disapa Cak Nun pernah menyampaikan pernyataan dan keterangan mengenai celana cingkrang. Hal itu diutarakan di hadapan Majelis Masyarakat Maiyah, beberapa waktu lalu. Ia mengatakan bahwa kain atau pakaian yang berumbai-rumbai sampai menyentuh tanah sebagai lambang budaya orang-orang kaya. Sementara rakyat miskin seperti Nabi Muhammad, tidak mungkin mengenakan seperti itu.
“Dulu itu kan, di Arab, lambang budaya orang-orang kaya mengenakan pakaian yang berumbai-rumbai, yang panjang, sampai menyentuh tanah. Seperti pakaian raja atau kaisar, begitu. Abu Jahal sering memakai pakaian seperti itu. Tapi kalau orang miskin seperti Nabi Muhammad ya seadanya lah. Karena biar praktis lah. Kan gak mungkin, ngangon kambing dengan memakai pakaian yang besar-besar seperti itu. Sangat tidak efektif,” tandas suami Novia Kolopaking itu.
Maka itu, lanjut Cak Nun, Nabi Muhammad memberi pernyataan bahwa jangan memanjangkan kain untuk kesombongan. Poin pentingnya ada dua. Memanjangkan kain dan sifat sombong. Namun, titik fokus atau penekanannya ada pada kesombongan. Artinya, silakan mengenakan celana cingkrang untuk menjauhkan diri dari kesombongan.
“Tapi sekarang kan tidak (berbeda dengan pada zaman Nabi), yang dilihat hanya pada kainnya. Sombong tidak apa-apa asal kainnya di atas mata kaki (cingkrang),” kata Cak Nun disambut gemuruh tawa jamaah Maiyah.
Dari situ, kita mendapat pelajaran berharga. Bahwa dewasa ini, di kota-kota besar banyak cara beragama yang diliputi kesombongan. Merasa dekat dengan Rasulullah sehingga memberi jarak kepada orang-orang yang tidak mengenakan celana cingkrang. Sekali lagi, saya menaruh hormat dan mengapresiasi kepada siapa pun yang memakai celana cingkrang karena kecintaannya terhadap Nabi Muhammad. Tetapi, saya sangat menyayangkan sikap kita yang
Hujjatul Islam Imam Ghozali dalam Kitab Ihya Ulumuddin menulis tentang godaan iblis yang disebut talbis. Yakni, godaan yang ditujukan kepada orang-orang yang telah merasa baik beragama, tetapi sebenarnya tidak. Hal itu karena hatinya diliputi sifat sombong. Talbis merupakan suatu godaan yang seolah-olah baik, secara sampul dan cover seperti dekat dengan agama, padahal isi hati diliputi oleh sifat yang sangat tidak disukai oleh Allah dan Rasulullah.
Sebagaimana ilmu marketing, mengemas segala sesuatu dengan kebaikan agar mendapat perhatian lebih dari konsumen atau khalayak umum. Dengan demikian, sangat cara beragama model ilmu marketing itu sangat jauh dari nilai-nilai luhur agama. Karenanya, kita mesti berhati-hati agar tidak terjerumus pada godaan iblis yang dapat menjerumuskan ke dalam lembah kenistaan.
Begitu juga halnya dengan orang-orang yang gemar mengenakan kain sarung. Saya berpesan, agar tidak sombong dalam beragama. Tidak merasa suci dan merasa dekat dengan Allah. Sebab, kemuliaan tidak diukur dari sampul, melainkan dari ketakwaan. Berpakaian yang menyimbolkan keagamaan, memang perlu, tetapi meningkatkan kualitas takwa kepada Allah jauh lebih penting.
Berlomba-lomba dalam kebaikan. Demikian pesan Al-Quran kepada seluruh umat manusia, khususnya umat Islam. Sementara menyombongkan diri merupakan sikap yang jauh dari kebaikan. Lalu, bagaimana kita seharusnya? Kita sendiri yang berhak menentukan.