Oleh Syafiq Naqsyabandi
Sikap PBNU yang memilih kontra terhadap Aksi Bela Islam banyak membuat kalangan gagal paham. Rupanya tidak hanya kalangan Islam perkotaan yang gagal paham, tetapi juga kalangan Islam yang berasal dari lingkungan Nahdliyin (NU kultural). Umumnya mereka yang gagal paham ini merupakan kalangan Islam yang tidak dekat dengan NU struktural, meski tidak jauh dari kalangan NU kultural.
Orang-orang yang meskipun berasal dari kalangan NU kultural, dapat terbawa isu-isu yang berembus di masyarakat jika tidak dekat dengan NU struktural. Kita semua mafhum, betapa liarnya isu (menjurus fitnah) yang berembus di masyarakat hari-hari ini. Hanya NU strukturallah yang dapat menangkis ataupun meluruskan kesimpangsiuran isu tersebut. Kedekatan seseorang dengan NU struktural, sedikit atau banyak akan mempengaruhi pemahaman seseorang dengan sikap-sikap PBNU.
Mengamini apa yang seringkali disampaikan Ahmad Baso dalam buku-bukunya, bahwa hari ini NU sedang digempur oleh wahabisme di satu sisi dan digempur oleh liberalisme di sisi lain. Isu-isu tertentu sengaja ditiupkan ke masyarakat Nahdliyin oleh kedua pihak tersebut, maupun pihak-pihak lain yang bersekutu dengan keduanya, demi menginfiltrasi NU. Nahdliyin yang awam dalam memahami prinsip-prinsip kemoderatan NU, dapat terinfiltrasi doktrin-doktrin di luar NU. Tidak heran jika kemudian Rais Aam KH Makruf Amin seringkali berpesan dalam berbagai kesempatan, “La radikaliyan wa la liberaliyan”.
Kembali mengenai sikap PBNU terhadap Aksi Bela Islam yang terkesan melawan arus, barangkali perlu bagi kita untuk melihat kembali sikap PBNU dalam dinamika sejarah republik ini. Karena ternyata banyak juga sikap PBNU yang tidak mudah dipahami dalam berbagai peristiwa penting yang terjadi di republik ini. Contoh pertama dari sikap PBNU adalah keluarnya NU dari Masyumi pada tahun 1952. Saat itu Masyumi adalah satu-satunya partai politik bagi umat Islam, jumlah kursi Masyumi di parlemen pun termasuk yang paling banyak. Sikap PBNU yang memutuskan keluar dari Masyumi, membuat NU dituduh sebagai pemecah belah umat Islam.
Setidaknya ada dua alasan yang membuat NU saat itu memutuskan keluardari Masyumi. Pertama karena Masyumi mengurangi fungsi Dewan Syuro menjadi sekadar pemberi nasihat semata, padahal justru di Dewan Syuro lah duduk perwakilan NU, yakni KH Hasyim Asyari, KH Wahid Hasyim dan KH Wahab Hasbulloh. Pemangkasan fungsi Dewan Syuro ini membuat para ulama NU menjadi tidak dihargai dalam menentukan arah partai. Hal ini menimbulkan kekecewaan besar di kalangan NU. Alasan kedua adalah bergesernya posisi Menteri Agama yang sebelumnya adalah langganan KH Wahid Hasyim. Sikap NU yang memutuskan untuk keluar dari Masyumi tetaplah kontroversial sampai akhirnya sejarah membuktikan pada akhir medio 1950-an, pemimpin Masyumi melibatkan diri dalam gerakan makar PRRI/Permesta. NU membuktikan diri menjadi simbol kesetiaan umat Islam pada Republik Indonesia.
Contoh kedua dari sikap PBNU adalah bergabungnya NU dalam koalisi Nasakom di era demokrasi terpimpin. Sikap NU ini membuat para kiai NU dicerca karena bersedia duduk bersama PKI dalam pemerintahan. Saat itu kiai NU seringkali disebut-sebut sebagai kiai Nasakom. Padahal ijtihad NU untuk turut berada dalam pemerintahan adalah untuk mengawal kebijakan Presiden Soekarno supaya tidak didominasi oleh PKI. Keberadaan NU dalam pemerintahan saat itu juga untuk melindungi elemen-elemen umat Islam dari serangan PKI. Buktinya PKI pernah membujuk Presiden Soekarno untuk membubarkan HMI, tapi karena penolakan Menteri Agama yang juga Sekjend PBNU, KH Saifudin Zuhri, HMI tidak jadi dibubarkan. Pasca pecahnya peristiwa G30S, NU menjadi ormas yang paling depan dalam mengganyang PKI, kembali NU membuktikan kesetiaannya pada Republik Indonesia.
Contoh ketiga dari sikap PBNU adalah merapatnya Gus Dur sebagai Ketum Tanfidziyah PBNU kepada Jenderal LB Murdani. Seperti yang sudah diketahui, pada tahun 1984 pecah peristiwa Tanjung Priok dimana militer dibawah komando LB Murdani menembaki umat Islam dan menelan ratusan korban. Protes menyusul peristiwa tersebut terjadi di mana-mana bahkan hampir mengarah pada kerusuhan nasional. Latar belakang Jenderal LB Murdani yang bukan Islam membuat kerusuhan dipenuhi sentimen keagamaan. Ditengah-tengah susasana yang demikian, Gus Dur justru menggandeng Murdani mengunjungi pesantren-pesantren NU. Tak pelak Gus Dur mendapat hujatan dan cacian dari banyak pihak, bahkan dari warga NU sendiri. Lebih jauh Gus Dur dituduh telah murtad karena membela Murdani. Padahal, Gus Dur berpendapat langkah yang dilakukannya adalah upaya meredam represifitas aparat. Gus Dur khawatir jika tidak diredam, korban dari umat Islam akan bertambah besar.
Ketiga sikap yang sudah diuraikan di atas merupakan contoh, betapa seringkali sikap PBNU gagal dipahami oleh masyarakat. Masyarakat Nahdliyin sendiri saja bisa gagal paham, apalagi yang bukan Nahdliyin. Terlebih seringkali hanya sejarah yang bisa membuktikan kejelian sikap PBNU. Hal ini menjadi tidak mudah untuk menjelaskan mengapa PBNU justru sangat kontra terhadap aksi bela Islam, meskipun juga mendukung proses hukum terhadap terduga pelaku penista agama. Dalam seruan moral yang dikeluarkan pada 28 Oktober 2016 yang lalu, tertangkap kesan yang sangat jelas bahwa PBNU khawatir jika arus yang ada tidak dibendung, maka kekuatan ekstrem kanan akan naik ke panggung politik nasional. Sikap PBNU tersebut bukan dalam rangka membela penista agama, tetapi lebih kepada menjaga supaya Islam moderat tetap menjadi arus utama umat Islam yang ada di Indonesia. Inilah originalitas dari beragam sikap PBNU terhadap dinamika perjalanan Republik Indonesia.
Kekhawatiran PBNU menjadi nyata tatkala tidak lama setelah sukses dan lancarnya rangkaian Aksi Bela Islam,terjadi pembubaran paksa peribadatan umat nasrani di Bandung. Kemudian merebaknya sweeping atribut natal di banyak kota. Terbaru adalah dilaporkannya Habib Rizieq oleh PMKRI. Sesama bangsa Indonesia menjadi mudah saling lapor, menjadi tiba-tiba saling berlawanan. Barangkali inilah yang disebut dengan bahaya naik panggungnya ekstrem kanan dalam perpoilitikan nasional. Naik panggungnya kalangan ekstrem bisa berujung pada konflik besar, seperti saat naik panggungnya ekstrem kiri pada awal 1965. Indonesia hanya bisa stabil jika berada di tengah-tengah, menjadi moderat, menjadi ummatan wasathan sesuai pesan Al-Baqarah ayat 143.