Nama lengkapnya Ahmad Muhammad Ahmad ath-Thayyib. Ia lahir pada 6 Januari 1946 di Luxor Provinsi Qina, sebuah kota yang terletak di tepi timur sungai Nil Mesir. Saat ini, ath-Thayyib menduduki jabatan Grand Syaikh al-Azhar atau Imam Besar al-Azhar.
Ath-Thayyib memiliki garis nasab yang baik. Bahkan jika dirunut, nasab ath-Thayyib bersambung kepada Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya Syaikh Muhammad Thayyib dan kakeknya Syaikh Ahmad Thayyib adalah seorang ‘aktivis.’ Mereka kerap kali mengadakan majelis perdamaian antarsuku di daerahnya. Sejak kecil hingga menjadi Grand Syaikh al-Azhar, ath-Thayyib sering menghadiri majelis yang digagas orang tuanya itu.
Ath-Thayyib mendapatkan gelar Sarjana (1969), Master (1971), dan Doktor (1977) dari Universitas al-Azhar Kairo Mesir. Program studi yang diambilnya pun linier yaitu Akidah dan Filsafat. Kemudian dia melanjutkan studi ke Universitas Sorbonne Paris dan mendapatkan gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) dalam bidang Filsafat Islam (1977-1988).
Selepas menyandang gelar doktor, ath-Thayyib diangkat menjadi dosen tetap di Universitas al-Azhar. Sejak saat itu, ath-Thayyib tidak hanya mengajar di al-Azhar saja, tapi juga di kampus-kampus luar Mesir seperti Universitas Islam Internasional di Islamabad Pakistan, Universitas Emirat, Universitas Qatar, dan Universitas Imam Muhammad bin Sa`ud di Riyadh.
Ketekunan, kiprah, dedikasi dan sumbangsih ath-Thayyib dalam dunia akademis dan Islam menghantarkannya menduduki posisi penting, baik di kampusnya al-Azhar ataupun di negaranya Mesir. Tercatat, ath-Thayyib menduduki posisi Mufti Negara Mesir (2002-2003), Rektor Universitas al-Azhar (2003-2010), dan Grand Syaikh al-Azhar (2010-sekarang).
Grand Syaikh Al-Azhar ke-48
Grand Syaikh al-Azhar atau Imam Besar al-Azhar adalah sebuah gelar bergengsi di dunia Islam Sunni dan gelar resmi yang prestisius di negara Mesir. Orang yang menyandang gelar ini dianggap sebagian umat Islam (Sunni) sebagai orang yang memiliki otoritas tertinggi dalam pemikiran Islam Sunni dan fikih. Grand Syaikh al-Azhar memiliki pegaruh yang besar di dunia Islam, khususnya mereka yang menganut sistem akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Sebetulnya, ‘Imam Besar al-Azhar’ yang bertugas sebagai pemimpin Masjid al-Azhar dan Universitas al-Azhar sudah ada sejak abad ke-14. Awalnya namanya Musyrif al-Azhar dan kemudian diganti menjadi Nadzir al-Azhar. Pada saat Kesultanan Utsmani menguasai Mesir, gelar bagi pemimpin Masjid al-Azhar dan Universitas al-Azhar diubah menjadi Grand Syikh al-Azhar atau Imam Besar Imam al-Azhar.
Meski gelar Grand Syaikh al-Azhar sudah ada sejak lama, namun gelar ini baru ditetapkan pemerintah Mesir melalui Undang-Undang Nomor 103 Tahun 1961 tentang Pengembangan al-Azhar. Peraturan ini menjadikan Grand Syaikh al-Azhar sebagai otoritas tertinggi mengenai urusan-urusan keagamaan. Dengan dikeluarkannya peraturan ini pula, Grand Syaikh al-Azhar diangkat dan dipilih langsung oleh Presiden Mesir.
Ahmad ath-Thayyib menduduki posisi Grand Syaikh al-Azhar atau Imam Besar al-Azhar sejak 19 Maret 2010 hingga saat ini. Ia diangkat Presiden Mesir Husni Mubarak menyusul wafatnya Grand Syaikh al-Azhar sebelumnya, Muhammad Sayyid Tantawy.
Dari abad 16 hingga hari ini, Masjid al-Azhar dan Universitas al-Azhar sudah dipimpin oleh 48 Grand Syaikh. Dari catatan yang ada, mereka yang menjadi Grand Syaikh al-Azhar biasanya menganut salah satu dari mazhab tiga (Hanafi, Maliki, dan Syafi’i).
Muhammad al-Kharashi (1679-1690) merupakan Grand Syaikh al-Azhar pertama, sementara Ahmad ath-Thayyib menjadi Grand Syekh Al-Azhar ke-48.
Muslim Paling Berpengaruh di Dunia
Riset The 500 Most Influential Muslim tahun 2018 menempatkan Grand Syaikh al-Azhar Prof. Dr. Syaikh Ahmad Muhammad Ahmad ath-Thayyib sebagai Muslim yang paling berpengaruh di dunia. Dia menduduki peringkat pertama dari 500 Muslim yang paling berpengaruh di seluruh dunia lainnya.
Ini bukan kali pertama bagi ath-Thayyib, tahun 2017 lalu dia juga berada di urutan teratas sebagai Muslim paling berpengaruh setelah sebelum-sebelumnya, yakni tahun 2016, 2015, dan 2014, menduduki posisi kedua.
The Royal Islamic Strategic Studies Centre yang berkedudukan di Amman Jordania, sebuah lembaga penelitian yang menggagas riset tentang Muslim paling berpengaruh di dunia, menempatkan ath-Thayyib sebagai Muslim paling berpengaruh karena kedudukannya sebagai pemegang ‘otoritas tertinggi’ bagi Muslim Sunni. Selain itu, dia juga memimpin Universitas Islam Sunni terkemuka dan terbesar (al-Azhar).
Ath-Thayyib terus menerus mempromosikan Islam tradisional. Dia selalu menekankan tentang pentingnya menjaga dan mengajarkan warisan Islam yang telah ditingggalkan oleh ulama terdahulu. (A Muchlishon Rochmat – NU Online)