Idaroh Wustho Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) Jawa Timur terletak di Kauman III/29, Mojoagung, Jombang. Seperti umumnya di daerah Jawa Tengah atau di Jawa Barat, yang berkembang di Jawa Timur adalah tarekat-tarekat dengan pengikut besar seperti Qadiriyah wan Naqsyabandiyah (TQN) dan Syadziliyah.
Pengikut tarekat yang berkembang di Jatim rata-rata mengambil baiat dari KH. Romli Tamim Rejoso Jombang dengan tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah yang dilanjutkan oleh KH. M. Utsman al-Ishaqy Jatipurwo Surabaya, KH. Abdul Jalil Mustaqim Peta Tulungagung dengan tarekat Syadziliyah, dan KH. M. Muhadi Bogbogan Tanjunganom Nganjuk dengan tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah yang diteruskan oleh KH. Nur Hamim Adlan Ponorogo.
KH. Nur Hamim Adlan mampu hidup di desa yang penuh angkara murka. Beliau ibarat ikan laut, biarpun hidup di air asin tapi tidak ikut asin. Di masa kecil rumahnya sering dijadikan ajang perjudian oleh lingkungannya. Namun beliau mampu merintis madrasah bergedung dan berkelas pada tanggal 9 Mei 1991 M/24 Syawal 1411 H. Padahal sebelumnya di lingkungan beliau paling lama empat tahun biasanya murid sudah habis.
KH. Nur Hamim Adlan lahir di Ponorogo pada tanggal 21 April 1957 M. Ayahnya bernama Kromo Kisman dan ibunya bernama Kasmirah. Ayahnya lahir di Klepu Desa Purworejo Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo. Berdarah pendiri pondok pesantren yang beberapa santrinya adalah keluarga keraton Solo. Tapi sekarang sudah rata dengan tanah, orang biasa menyebutnya dengan dukuh Mejid. Nenek moyangnya termasuk pejuang Nglorok dan sudah bertitel Haji. Dari pihak ibu masih berdarah wali, Mbah Djonasi, yang makamnya terkenal keramat.
KH. Nur Hamim Adlan saat mudanya ngaji di Mu’allimin Durisawo tiap pagi. Sedangkan tiap sorenya ngaji di PP MMH Mayak Ponorogo. Semasa mudanya dijuluki “Robot” karena kekarnya, dipukul orang pun tidak pernah terasa. Pernah suatu ketika orang sepuluh dijunjung (dipanggul) selama tiga jam saat panjat pinang. Dan Kiai Hamim tidak memegang pohon pinangnya sama sekali. Sejak itulah masyarakat Kelurahan Purbosuman Ponorogo mulai simpati dan hormat padanya. Dan masyarakat sekitar mulai memanggilnya dengan sebutan Kiai, apalagi setelah berdirinya Pondok Pesantren Nahrul Ulum.
Sekitar tahun 1983 sewaktu Kiai Hamim Adlan bin Kisman masih mondok di Pesantren Tebuireng nampak keistimewaan pada dirinya. Disaksikan teman sebangku kuliahnya di Fakultas Syari’ah Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, bernama Lamro. Pada suatu malam Lamro wiridan di dekat makam Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Tiba-tiba ia terkantuk lalu mendadak bangun karena mendengar suara dengan jelas di dalam kubur Mbah Hasyim Asy’ari. Suara itu jelas suaranya KH. Nur Hamim Adlan dan suara Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Sepertinya Mbah Hasyim Asy’ari sedang memberi wejangan dan pengajaran kepada KH. Nur Hamim Adlan.
Kemudian Lamro menemui Kiai Hamim temannya, lalu berkata, “Mim, kamu tidak ada manfaatnya di Tebuireng. Demi Allah bukan maksudku mengusirmu, tapi menurut perasaan saya bagi kamu ilmu di Tebuireng ini sudah habis. Insyaallah tidak ada santri Tebuireng yang sehebat kamu. Pulanglah! Akan saya tunggu dan saya saksikan kehebatan tersebut.”
Dan Pak Lamro yang nama lengkapnya Drs. H. Lamro Ashari, sejak tahun 1979 sampai sekarang belum pulang. Sudah berpegawai negeri dan membantu mengajar sekaligus Tim Keamanan inti SMA Wahid Hasyim Tebuireng Jombang serta salah satu pengurus Yayasan Hasyim Asy’ari. Kini kediamannya di Desa Seblak, sebelah barat Tebuireng.
Pada bulan Rajab tahun 1998 M, pernah KH. Nur Hamim Adlan dipanggil Gus Kholiq almarhum agar datang ke Pondok Pesantren Tebuireng. Setelah sampai di sana Kiai Hamim kebingungan di mana makam KH. Abdul Kholiq Hasyim (Gus Kholiq).
Lalu ia bertemu dengan teman lamanya yang bernama Drs. Zainal Arifin yang sehari-hari bertugas sebagai Pengurus Perpustakaan Pesantren Tebuireng. Kiai Hamim berkata pada Bpk. Zainal Arifin, “Kang aku kok ditimbali Gus Kholiq, tuduhno sarehane!”
Jawab Bpk. Zainal, “Lho Kang, sampeyan kok ditimbali Gus Kholiq, opo arep diparingi ilmu kejadukan?” Memang konon kabarnya, pembantunya Gus Kholiq jika memijat badan beliau memakai tongkat besi dan ditumbuk-tumbukkan. Gus Kholiq beratnya mendekati dua kuintal.
Lalu Kiai Hamim berkata, “Menengo, sing penting saiki tuduhno maqome Gus Kholiq.”
Akhirnya Kiai Hamim diantar ke makam Gus Kholiq. Di situ Kiai Hamim diberi amanat oleh Gus Kholiq berupa Surat An-Nashr 1000 kali dan agar diamalkan setiap seminggu sekali di Tebuireng dekat makam KH. Hasyim Asy’ari. Pada waktu Gus Kholiq memanggil itu, Jawa Timur sedang digoncang dengan isu Ninja (1 Oktober 1998). Dengan rajin Kiai Hamim seminggu sekali datang ke Tebuireng membaca amalan tersebut. Baru setelah Gus Dur menjadi Presiden, Gus Kholiq memberi isyarat agar amalan itu dihentikan.
Sejak 1980 Kiai Hamim sudah mengajar sebagai mubaligh di Tuwawo Kenjeran Surabaya dan Kepala SD Budiyakin II Rangkah Tegalrejo Surabaya. Tahun 1985-1993 ia mengajar di Ponpes Hudatul Muna Jenes Ponorogo, Ponpes Darul Huda Mayak Ponorogo, MTs Al-Rasyid Ponpes Hidayatul Mubtadi’in Klego Mrican Ponorogo dan Mu’allimat Ma’arif Ponorogo.
Pada tahun 2003 Kiai Hamim yang merupakan Mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah dari KH. Imam Muhadi Bagbogo Tanjung Anom Nganjuk menjabat sebagai Mudir Am Syu’biyah JATMAN Ponorogo, Ketua Syuriyah MWC NU Ponorogo, Ketua Umum MUI Ponorogo.
Diantara guru-guru Kiai Hamim adalah KH. Adlan Ali Cukir Jombang, KH. Syamsuri Badawi Tebuireng Jombang, KH. Asror Ridhwan Kaliwungu Kendal, KH. Abdul Hamid Pasuruhan, KH. Dahnan Trenggalek, KH. Mahrus Ali Lirboyo, KH. Abdul Majid Blega Madura, KH. Hasyim Sholeh Mayak Ponorogo dan KH. Imam Muhadi Bagbogo Nganjuk.
Tanggal 24 Syawal 1411 H/ 9 Mei 1991 M adalah tanggal resmi Kiai Hamim mendirikan Pondok Pesantren Nahrul Ulum Purbosuman Ponorogo. Hingga kini Ponpes Nahrul Ulum memiliki 5 unit pendidikan; Tarbiyatul Mu’allimin Subulus Salam yang mengedepankan kitab-kitab salafiyah, Madrasah Diniyah Al-Anwar, TPQ Al-Anwar, TK Muslimat Sumber Sari dan MI Al-Ihsan. (Syaroni as-Samfuriy)