Oleh : A’isy Hanif Firdaus *
Pribumisasi islam merupakan gagasan Gus Dur pada tahun 1980-an yang paling populer dan relevan dengan perkembangan hingga saat ini. Hal tersebut bahkan menjadi trade mark yang sangat fenomenal yang menandai atas keprihatinan Gus Dur terhadap kebudayaan Islam di Indonesia dengan berbagai gempuran serta ancaman dari Arabisasi. Sesuatu yang sangat menarik memang untuk dikaji mengenai pribumisasi islam yang ternyata tidak melulu mempersoalkan proses indigenesasi islam ke dalam budaya lokal dalam sebuah antrian-antrian disiplin antropologis. Akan tetapi lebih pada kontekstualisasi Islam ke dalam realitas kehidupan dalam bingkai kerangka proses kebudayaan secara alamiah dan filosofis.
Pada titik inilah, ranah pribumisasi Islam berada di antara dua belahan sebuah ruang-waktu. Di satu sisi, berada di ruang masa lalu sebagai tempat Islam pertama kali hadir di Nusantara. Oleh karena itu, pribumisasi Islam merupakan gagasan yang mewadahi, menaungi serta melandasi apa yang ada saat ini di sebut sebagai gagasan Islam Nusantara. Sementara itu di sisi lain, pribumisasi Islam juga berada dalam konteks kekinian, ketika geo-kultural Nusantara telah menjadi geo-politik Indonesia.
Dengan demikian, Pribumisasi Islam merupakan gagasan yang menandai suatu bentuk Islam Indonesia, dimana keberislaman secara inheren telah melekat dengan pembawaan sikap alamiah yang terjadi menjadi keindonesiaan.
Ada beberapa tahapan dalam bingkai pandangan Gus Dur mengenai Islam di Nusantara jika kita tinjau secara historis. Pertama, pandangan tentang karakter kebudayaan Islam Nusantara saat ini merupakan bentuk yang dihasilkan oleh kesejarahan Islam di Nusantara. Di dalam Nusantara, historisitas menetukan bentuk kebudayaan.
Tahap kedua, merupakan konstruksi Gus Dur atas corak keislaman dalam hal Islam Nusantara. Tentu corak keislaman ini terbatas di dalam tradisi keislaman Gus Dur sendiri, yakni pesantren. Namun, karena tradisi pesantren merupakan tradisi mainstream awal di Nusantara maka sangatlah cocok tradisi ini bisa mewakili tradisi Islam Nusantara secara keseluruhan.
Ketiga, Pemilahan Gus Dur atas pola-pola hubungan Islam dan kekuasaan di Nusantara. Pemilahan ini menarik karena telah membekaskan pada corak-corak politik Islam tersendiri yang masih membekas hingga sekarang ini.
Tahap keempat, yakni penguraian pribumisasi Islam sebagai metodologi islam nusantara. Di dalam metodologi ini, terdapat epistemologi islam yang secara khas mencirikan cara berpikir islam nusantara.
Menariknya, sebagaimana di singgung diatas, pribumisasi islam tidak hanya terjadi dalam kaitan islam dan budaya lokal saja, tetapi juga hubungan islam dengan realitas modern kekinian. Tahap kelima, yakni penerapan pribumisasi islam dalam konteks keindonesiaan modern artinya akan mengurai persoalan kemodernan yang dihadapi oleh Gus Dur dan cara Gus Dur mengatasinya melalui perspektif pribumisasi islam.
Konsep pribumisasi islam memaknai islam yang bersifat shalihun li kulli zaman wa makan, yang berarti mampu diterima dengan baik dan relevan untuk segala zaman dan tempat. Karena pada dasarnya keislaman yang mengakomodasi dan dapat diserap oleh budaya lokal tanpa menghilangkan nilai-nilai islam itu sendiri.
Memang islam secara fakta turun di arab namun yang perlu digaris bawahi adalah bukan persoalan arabnya melainkan nilai keislamannya yang perlu dikaji secara mendalam. Islam hadir bukan untuk membumi hanguskan beberapa khazanah tradisi kita dengan budaya arab, namun islam hadir untuk memberikan ketenangan dan membawa rahmat bagi seluruh alam semesta dimuka bumi.
Maka sebagai penegasan, KH. Abdurrahman wahid (gus dur) telah mengenalkan ide pribumisasi islam yang pada intinya islam sebagai agama universal harus dibumikan kedalam budaya lokal yang telah ada dinusantara, hal ini dilakukan agar umat islam di indonesia bisa dengan mudah beragama sesuai dengan budaya indonesia. ‘’kita ambil nilai-nilai islam, kita saring budaya arabnya’’ tandas Gus Dur menyampaikannya.
Walhasil, pribumisasi islam menjadi gagasan dan khazanah yang telah Nahdlatul Ulama torehkan dalam mengokohkan kembali akar budaya kita dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama tanpa harus menghancurkan tradisi-tradisi yang telah ada.
Pada momentum peringatan 1 Abad Nahdlatul Ulama yang rencananya akan digelar pada 7-8 Februari 2023 ini menjadi sejarah bagi Nahdlatul Ulama diusianya yang telah mencapai 100 tahun, menjaga keseimbangan aqidah, tradisi-tradisi islam, dan memperkokoh kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai generasi muda NU, tentu kita patut merawat, memahami, mempelajari rentetan sejarah yang telah NU torehkan selama ini.
*Penulis adalah Pengurus LTN PCNU Kabupaten Brebes.