Kemanapun orang Padang pergi, di situ akan berdiri warung makan, begitulah kesan umum di masyarakat. Tetapi kaidah ini tidak berlaku bagi tokoh yang akan saya ulas dalam tulisan ini, yakni Syekh Yasin al-Fadani. Ia menuntut ilmu hingga jauh ke Mekah dan merintis sebuah madrasah yang mencetak banyak ulama dari Indonesia.
Sebuah informasi menarik saya temukan dalam buku karangan Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (1995) berkenaan dengan sosok Syekh Yasin bin Isa al-Fadani (meninggal 1990), seorang alim asal Padang yang tinggal di Mekah dan pendiri madrasah yang terkenal, Dar al-‘Ulum al-Diniyyah.
Sebelum madarasah itu berdiri, ada madrasah lain yang cukup terkenal di Mekah, yaitu Madrasah Shaulatiyyah. Madrasah ini didirikan oleh seorang tokoh perempuan dari India, Shaulah al-Nisa’, pada 1874, karena itu disebut Shaulatiyyah. Pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada seorang ulama militan yang dikenal karena polemik-polemiknya melawan para misionaris Kristen di India, yaitu Rahmatullah bin Khalil al-‘Utsmani.
Banyak pelajar Indonesia yang menjadi murid madrasah itu, termasuk Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. Ada suatu kejadian di madrasah tersebut yang membuat Syekh Yasin marah dan kemudian memutuskan untuk keluar.
Pada suatu hari, seorang guru di madrasah itu merobek koran berbahasa Indonesia yang dibaca oleh sejumlah mahasiswa asal Indonesia. Guru itu juga mengejek aspirasi nasionalis orang-orang Indonesia dengan mengatakan bahwa bangsa bodoh yang memakai bahasa seperti itu tak akan bisa meraih kemerdekaan.
Kejadian ini disaksikan langsung oleh Syekh Yasin, dan tentu saja membuatnya marah dan memutuskan untuk keluar dari madrasah itu. Ia kemudian terlibat dalam usaha-usaha untuk mendirikan madrasah terpisah guna menampung mahasiswa asal Indonesia. Berdirilah Madrasah Dar al-‘Ulum al-Diniyyah pada 1934. Ada sekitar 120 santri Jawa (istilah Jawa saat itu mencakup seluruh kawasan Indonesia, Melayu, bahkan juga Thailand Selatan) yang pindah ke madrasah baru itu, termasuk Syekh Yasin sendiri. Belakangan, Syekh Yasin menjadi mudir atau direktur madrasah tersebut hingga dia wafat pada 1990.
Semasa dia masih hidup, banyak jamaah haji Indonesia yang selalu menyempatkan mampir di madrasah itu. Syekh Yasin juga memelihara relasi dengan sejumlah kiai di Indonesia, bahkan menuliskan semacam “thabaqat/tarajum” atau biografi sejumlah kiai di tanah air.
Dia sempat hadir dalam Muktamar NU ke-26 di Semarang pada 1979. Pada kesempatan itulah dia menyempatkan diri untuk mengunjungi sejumlah pesantren di Jawa Tengah, antara lain pesantren milik kakek saya, KH. Muhammadun, dari Pondohan, Tayu, Pati. Meskipun saya tidak melihatnya sendiri, konon Syekh Yasin menulis tarjamah atau biografi singkat Kiai Muhammadun menurut tradisi thabaqat yang kita kenal dalam khazanah historiografi Islam klasik.
Kunjungan Syekh Yasin ke pesantren kakek saya itu meninggalkan kenangan yang mendalam pada diri saya. Saat itu, saya berumur 13 tahun. Tentu saja saat itu saya belum mengerti mengenai sosok Syekh Yasin, meskipun namanya selalu saya dengar melalui pengajian yang disampaikan oleh ayah saya. Tetapi ribuan orang yang datang ke pesantren kakek saya saat itu untuk betemu dan melihat langsung sosok Syekh Yasin membuat saya berpikir bahwa tentu sosok ini bukanlah main-main.
Di kalangan santri Indonesia, Syekh Yasin dikenal sebagai “benteng” doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah di tanah Haramain berhadapan dengan kampanye agresif ideologi Wahabi yang disokong oleh pemerintah Saudi. Salah satu bukunya yang dikenal di kalangan pesantren adalah al-Fawa’id al-Janiyyah yang berisi ulasan mengenai kaidah fikih (qawa’id al-fiqh).
Informasi dari Martin van Bruinessen ini menarik karena memperlihatkan sosok Syekh Yasin bukan saja sebagai seorang alim yang mempertahankan doktrin Sunni di tanah haramain, tetapi juga seorang nasionalis yang memiliki kecintaan pada tanah air. Tahun saat madrasah Dar a-‘Ulum itu berdiri, yakni 1934, jelas merupakan periode di mana gerakan-gerakan nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan di tanah air sedang mencapai tahap kematangan.
Dengan demikian, kita patut mengenang Syekh Yasin sebagai seorang patriot yang cinta tanah air Indonesia, selain sebagai seorang muhaddits (pakar hadis), dan faqih (ahli mengenai hukum Islam). Hal ini juga memperlihatkan dengan baik sekali bahwa tidak ada pertentangan antara aspirasi nasionalisme dengan ajaran Islam.
Kecintaan pada tanah air yang diperlihatkan oleh seorang alim dengan kaliber seperti Syekh Yasin tentu cukup menjadi bukti bahwa Islam dan nasionalisme bukanah dua hal yang harus dipertentangkan. Semangat inilah yang kemudian dipertahankan oleh Nahdlatul Ulama (NU) hingga sekarang — semangat cinta tanah air. Semangat ini makin relevan untuk digaungkan kembali saat ini di tengah-tengah ramainya sejumlah gerakan Islam yang hendak mendirikan negara khilafah akhir-akhir ini. (Ulil Abshar Abdalla)