Oleh Ikbal Faizal
“Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Demikian definisi pemilu yang termaktub di Undang-Undang nomor 7 tahun 2017.
Pada UU tersebut juga diuraikan bahwa Pemilu dalam pelaksanaannya dilakukan pengawasan. Lembaga yang diberi mandat untuk melakukan pengawasan adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu diartikan dengan lembaga Penyelenggara pemilu yang mengawasi Penyelenggaraan Pemilu. Pengawasan dilakukan sesuai tingkatannya masing-masing. Level nasional diawasi oleh Bawaslu RI. Level propinsi diawasi Bawaslu Propinsi. Sedangkan level Kabupaten/Kota diawasi oleh Bawaslu Kabupaten/Kota.
Saat ada tahapan pemilu/pemilihan Bawaslu dibantu oleh pengawas pemilu/Pemilihan yang bersifat ad hoc. Pengawas ad hoc itu mulai di tingkat kecamatan hingga tingkat tempat pemungutan suara (TPS). Pengawas ad hoc secara variatif dibentuk sebelum pelaksanaan pemungutan suara. Panwas kecamatan, Panwas Keluaran/Desa, dan Panwas LN dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama Penyelenggaraan Pemilu dimulai. Selanjutnya berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu selesai (pasal 90 ayat 1 UU nomor 7 Tahun 2017). Sedangkan pengawas tingkat TPS dibentuk paling lambat 23 (dua puluh tiga) hari sebelum hari pemungutan suara. Selanjutnya dibubarkan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah hari pemungutan suara (pasal 90 ayat 2 UU nomor 7 Tahun 2017).
Bawaslu melakukan kerja pengawasan terhadap Penyelenggaraan pemilu/pemilihan. Penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan menyangkut semua tahapan dari proses perencanaan hingga penetapan hasil pemilu. Selain itu, Bawaslu juga memiliki tugas untuk mencegah praktik politik uang. Tugas lain mencegah dan menindak terhadap pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu.
Mengingat Bawaslu dan jajarannya memiliki jumlah tak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia pemilik hak pilih. Tentu bawaslu harus bisa menggandeng masyarakat luas agar mau melakukan pengawasan yang bersifat partisipatif. Sebagaimana termaktub dalam tugas pencegahan Bawaslu (UU Nomor 7 Tahun 2017) yakni “meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu”.
Terkait tugas Bawaslu Jika diurai paling tidak ada tiga poin yaitu pertama, melakukan kerja pengawasan terhadap tahapan pemilu. kedua, Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran dan sengketa proses pemilu. Ketiga, Mencegah terjadinya praktik politik uang.
KERJA PENGAWAS PARTISIPATIF
Jika Bawaslu diberi amanat oleh UU untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu, maka tak menutup kemungkinan muncul pertanyaan “Apasih kerja pengawas pemilu partisipatif dalam pemilu/pemilihan?.
Mengutip dari modul sekolah kader pengawas partisipatif (SKPP) tingkat dasar yang diterbitkan Bawaslu RI dijelaskan, “Pengawasan partisipatif ini adalah bagaimana masyarakat dapat turut serta mengawasi pemilu baik dalam kampanye, masa tenang dan hari H pemilihan. Adapun aktivitas yang dapat dilakukan yaitu dengan memantau pelaksanaan pemilu, melaporkan pelanggaran pemilu, menyampaikan informasi dugaan pelanggaran pemilu, ikut mencegah terjadinya pelanggaran pemilu.”
Darinya dapat dipaparkan, diantara kinerja pengawas partisipatif adalah pertama, memantau pelaksanaan pemilu. kerja pemantauan ini penting untuk memastikan pelaksanaan pemilu ataupun pemilihan sesuai dengan aturan. Kedua, melaporkan pelanggaran pemilu. jika hasil pemantauan ditemukan ketidak sesuaian dengan aturan atau dengan bahasa lain ada pelanggaran, maka segera dilaporkan kepada pengawas pemilu untuk segera ditindak lanjuti. Ketiga, menyampaikan dugaan pelanggaran pemilu. jika hasil pantauan diduga terdapat pelanggaran pemilu maka segera disampaikan kepada yang berhak menindak dalam hal ini Bawaslu beserta jajarannya. keempat, ikut mencegah terjadinya pelanggaran pemilu. alangkah lebih baik jika memungkinkan akan adanya pelanggaran untuk sebisa mungkin dicegah.
Partisipasi dalam pengawasan pemilu memiliki nilai strategis dalam pesta demokrasi pemilihan pemimpin. Karena pertama, partisipasi memberikan warna terhadap konsep Negara berdemokrasi. Kedua, partisipasi akan mengukuhkan rakyat sebagai subjek bukan objek semata. Ketiga, partisipasi akan memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran pemilu. keempat, partisipasi aktif terhadap pengawasan menjadi sarana pendidikan politik yang baik.
TINJAUAN ISLAM TENTANG PENGAWASAN PEMILU
Kepemimpinan dalam Islam memiliki posisi penting. Hal itu dapat dibuktikan ketika membaca surat an-Nisaa’ ayat 59 yang memiliki arti:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu…..” (a-Nisaa’: 59).
Ayat di atas menerangkan, bahwa setiap Muslim perlu untuk menaati pemimpin yang telah diangkat, dipilih, atau ditunjuk di antara mereka selama masih menjalankan kepemimpinan berdasar tuntunan dan ajaran agama.
Untuk melihat Islam meninjau tentang pengawasan pemilu maka perlu dikelompokkan sebagaimana tugas pengawas pemilu yang dipaparkan sebelumnya. Untuk itu uraiannya sebagai berikut:
- Pertama, Pengawasan terhadap Penyelenggaraan pemilu/pemilihan.
Terkait pengawasan, dalam maqasidusyari’ah dikenal kaidah “al-amru fis-syai’ amrun bi wasa’ilihi” yang memiliki arti “perintah terhadap sesuatu maka perintah juga terhadap sarana yang menghantarkan kepada sesuatu tersebut.” Secara riil dapat digambarkan bahwa perintah syari’atnya adalah “memelihara tatanan hidup umat” termasuk dii dalamnya adalah memelihara agama (hifd al-din) dan memelihara harta (hifd al-mal). Untuk itu melakukan pengawasan menjadi sarana yang wajib juga dilakukan.
Kegiatan pengawasan ini dalam Islam erat kaitannya dengan al-ḥisbah, yaitu menyuruh kepada kebaikan jika terbukti kebaikan ditinggalkan (tidak diamalkan), dan melarang dari kemungkaran jika terbukti kemungkaran dikerjakan (Al-Mawardi, 2006; 398).
Antara al-ḥisbah dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu/pemilihan memiliki dasar yang sama, yaitu sama-sama bertujuan untuk mencegah hal-hal yang dilarang. Larangan dalam agama adalah hal-hal yang dilarang tertulis dalam kitab suci. Dalam Islam larangan itu diistilahkan dengan kemungkaran. Sedangkan larangan dalam Pemilu adalah hal-hal yang menjadi larangan dalam undang-undang Pemilu. dalam pemilu istilahnya adalah pelanggaran. Pelanggaran itu bisa bersifat administrative, kode etik, pidana dan aturan lainnya. Antara Islam dengan Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan dalam hal larangan itu ada yang beririsan seperti larangan politik uang. Itu sifatnya kemungkaran.
Dalam tinjauan Islam kemungkaran harus dicegah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt. dalam Surah Ali Imran ayat 104:
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Ali Imran [2] : 104).
- Kedua, Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran dan sengketa proses pemilu.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Islam memerintah untuk melakukan pencegahan dalam kemungkaran. Perintah tersebut dapat dilihat juga dalam hadis yang berbunyi:
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
[رواه مسلم]
Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim)
Terhadap kemungkaran hadis tersebut menyiratkan penindakan sekaligus pencegahan terhadap kemungkaran. Penindakan dapat dilihat pada perintah merubah dengan tangannya. Sedangkan pencegahan bisa terlihat pada perintah merubah dengan lisan dan hati. Meskipun bahasa merubah itu sendiri bisa diartikan pencegahan dan penindakan.
Penanggulangan kejahatan dalam perspektif hukum Islam ada untuk menjamin keamanan dan kebutuhan hidup, di mana kehidupan manusia sangat tergantung pada kebutuhan hidup, yang apabila kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban di mana-mana. Penanggulangan kejahatan dalam perspektif hukum Islam menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan menjadikan urusan-urusan hidup menjadi lebih baik. Perbaikan yang dilakukan oleh manusia adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup menjadi tidak menyenangkan. (Siti Farhani Djamal, Binamulia Hukum Vol. 8 No. 2, Desember 2019).
- Ketiga, Mencegah terjadinya praktik politik uang.
Dalam ajaran Islam, politik uang (riswah) hukumnya adalah haram dan sangat dibenci oleh Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis berikut:
Q.s al-Baqarah [2]: 188 yang berbuyi:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.
Larangan riswah dalam hadist diantaranya dapat ditemukan pada hadis berikut:
عن أبي هريرة قال لعن رسول الله – صلي الله عليه وسلّم – الرّاشي والمرتشي في الحكم
Dari Abu Hurairah radliyallahu ’anhu,: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum. (Al-Imâm Aumad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad; alTirmidzî Abî ‘Isa Muuammad Ibn ‘Isa Ibn Surat, Sunan alTirmidzî Wahuwa al-Jâmi’ al-Shahîh, Buku III, Abdurrahman Muhammad ‘Usman (pent.), Hadis-Sunan Tirmidzi, Juz III, No.1387, (Semarang: CV al-Syifa’, 1992), h. 622; ‘Amir Alauddin Ali Ibn Balba al-Farisiy, Shahîh Ibnu Hibbân, M. Sulton Akbar (pent.), Juz XI, No.5076, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 467.)
Hadis lain:
عن ابْن أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو،قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي»
“Dari Ibni Abi Dzi’b, dari Al-Harits bin Abdirrahman, dari Abi Salamah, dari Abdillah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap”.
Dalam versi lain, hadist di atas disebutkan redaksinya sebagai berikut:
عن أَبي بَكْرٍ يَعْنِي ابْن عَيَّاشٍ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ أَبِي الْخَطَّابِ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ، عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: ” لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ ” يَعْنِي: الَّذِي يَمْشِيبَيْنَهُمَا
“Dari Abi Bakr yaitu Ibni ‘Ayyasy, dari Laits, dari Abi Al-Khathab, dari Abi Zur’ah, dari Tsauban, ia berkata: Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan orang yang menjadi perantara keduanya”.
Dari penjelasan hadist di atas dapat diartikan, yang dibenci Rasulullah tidak hanya pemberi dan penerima suap, tapi juga orang yang menjadi penghubung antara si pemberi dan si penerima suap.
Melihat paparan di atas, dalam hal politik uang antara Islam dan Undang-Undang Pemilu ataupun Pemilihan mempunya visi yang sama yakni sama-sama untuk dicegah dan ditindak.
- Keempat, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu
Partisipasi politik dalam pemilihan umum adalah bentuk upaya untuk mengajak pada hal yang baik (maslahah) dan mencegah keburukan atau larangan. Hal itu sebagaimana kewajiban setiap Muslim yang tertulis dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 97: “Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain; mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar….” Di konteks tulisan ini, ayat tersebut dapat diartikan berhubungan dengan bentuk kritik dan saran konstruktif yang bisa disampaikan oleh masyarakat, baik secara individu ataupun kolektif, kepada pemerintah dan wakil-wakil mereka. Pemilu merupakan momentum strategis untuk mengevaluasi periode sebelumnya dan membangun sesuatu agar kedepan lebih baik, setidaknya dalam periode pemilihan berikutnya.
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan ini dapat digambarkan turut serta masyarakat mengawasi pemilu baik dalam kampanye, masa tenang dan hari H pemilihan. Adapun aktivitas yang dapat dilakukan yaitu dengan memantau pelaksanaan pemilu, melaporkan pelanggaran pemilu, menyampaikan informasi dugaan pelanggaran pemilu, ikut mencegah terjadinya pelanggaran pemilu. Dengan begitu masyarakat benar-benar hadir dari awal hingga akhir. Itulah konsep sebagaimana dalam QS. At-Taubah ayat 97 dapat dilakukan yakni penolong bagi sebagian yang lain dan menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Memilih pemimpin yang baik dan ideal menjadi kewajiban berbangsa dan bernegara. Agama Islampun melegitimasi dengan konsep imamah. Untuk memilih pemimpin yang diinginkan masyarakat harus terlibat langsung dari awal hingg akhir dalam arti partisipasi aktif. Karena itulah partisipasi dalam pengawasan menjadi penting dan strategis. Wallahu a’lam.
Ikbal Faizal, Ketua Bawaslu Kabupaten Tegal