Agaknya cerita soal Riyanto, seorang anggota banser yang meninggal saat berusaha menyelamatkan para jemaat gereja dalam perayaan misa natal di Ebenhaezer, Mojokerto pada 2000 silam, kembali hangat dalam momentum natal seperti saat ini. Kisahnya dramatis layaknya film-film hollywood heroik dengan bom yang meledak dalam dekapannya. Sayang, meski nyawanya telah melayang meninggalkan kesedihan dan keharuan, sebagian orang menganggap kematiannya adalah sebuah kekonyolan.
“…bukan mati syahid tapi mati konyol dan kebodohan pemahaman. Coba tanya, apa benar orang Islam yang mati lagi menjaga tempat ibadah agama lain mati syahid?” tulis seorang netizen dalam kolom komentar sebuah platform sosial media. Terlepas dari status mati syahid atau tidak yang secara strata merupakan hak prerogatif Allah, mari kita bicara soal anggapan konyol sebuah kematian (hanya) karena menjaga gereja.
Labelling konyol dalam kematian Riyanto dengan pengorbanan nyawa seheboh itu, menurut saya adalah buah dari perspektif yang kotor dan egois. Anda geram sebab ada pengajian yang ‘dibubarkan’ banser sedang disisi lain banser dengan bangganya menjaga gereja yang jelas-jelas berisi orang-orang yang tak se-keyakinan. Bagaimana bisa yang seagama diacak-acak yang beda agama justru dibela mati-matian? Begitu bukan?
Begini. Mari kita menuju ke sebuah cerita yang terjadi pada 2003 silam dimana ada seorang warga Amerika Serikat, sebuah negara yang menjadi backing paling kuat bagi Israel -populer juga dengan sebutan antek yahudi- meninggal sebab dilindas Buldozer tentara Israel. Adalah Rachel Corrie yang saat itu heboh menjadi perbincangan dunia sebab menghadang tentara Israel saat hendak meratakan pemukiman warga Palestina di wilayah Gaza. Dan sayangnya Rachel bukanlah seorang muslim(ah).
Tentu kita faham, bagaimana kedekatan yang terjalin antara Indonesia dengan Palestina. Diluar sisi kemanusian yang dienduskan, terdapat juga unsur sentimen agama. Bahwasanya mayoritas warga Palestina adalah muslim. Sebagai kaum (mayoritas) dengan kesamaan latar belakang agama, pantas saja jika rakyat Indonesia berteriak keras membela Palestina saat diserang pengakuan Yerussalem sebagai ibukota Israel oleh eyang Trump.
Kemudian mari coba kita tarik kembali kisah Rachel Corrie, dengan segala pengorbanannya yang heroik. Berteriak menggunakan megaphone menantang tentara Israel yang tengah mengontrol kendali bulldozer untuk misi demolisasi pemukiman warga Palestina. Yang ironisnya, menabrak tubuh Rachel, menjatuhkannya ke tanah kemudian melindasnya dengan lahap tanpa dosa dan menghancurkan lengan, kaki, punggung hingga tengkoraknya. Saat saksi mata mencoba menyelamatkannya, Rachel sudah dipenuhi dengan darah dan tak dapat tertolong. Warga Palestina yang dibela tentunya sangat berduka sekaligus terluka.
Rachel memang bukan saudara seagama, namun mereka memiliki keterikatan hati secara kemanusiaan. Apakah kematian Rachel adalah sebuah kekonyolan? Tentunya sangat tidak bagi Palestina dan yang pro-Palestina. Tak hanya pro dari keterikatan agama, manusia yang berperikemanusiaan pun akan sangat terpukul dengan ending perjuangan Rachel membela rakyat Palestina. Dan saya yakin posisi Anda-anda ini dalam pusaran pro-Palestina yang menganggap Rachel -seorang kafir Amerika ini- sebagai hero yang kematiannya bukanlah sebuah kesia-siaan.
Sebagaimana kematian Riyanto, seorang anggota Banser yang dengan polosnya mendekap bom demi membawanya keluar gereja demi menyelamatkan sekelompok jemaat -kafir- yang tidak sejalan keyakinannya. Lalu coba posisikan diri anda sebagai jemaat gereja yang diselamatkan oleh Riyanto ataupun pihak yang pro dengan jemaat gereja? Adakah muncul anggapan kematian Riyanto adalah sebuah kebodohan?
Coba renungkan, apa untungnya bagi Riyanto rela mati menyelamatkan jemaat kafir sebagaimana Rachel yang juga mati demi membela warga Palestina yang juga kafir menurut agama Rachel?
Pun keberadaan Riyanto sebagai anggota Banser hanya sebuah identitas sebagaimana status warga negara dan agama Rachel yang melebur sebab aksi kemanusiaan. Riyanto dan Rachel adalah bukti bahwa sesungguhnya aksi kemanusiaan mampu meleburkan label agama. Atau bisa jadi justru semakin meneguhkan eksistensi agama sebagai pembentuk pola kemanusiaan yang sebenarnya. Sederhananya, untuk apa beragama kalau tidak berkemanusiaan? Apalagi memprovokasi orang-orang untuk mendirikan sistem yang menodai kesatuan dan persatuan ke-Indonesiaan?