Oleh Ikbal Faizal
khulafaurrosyidin secara Bahasa berasal dari kata khulafa’ jamak dari kholifah yang berarti pengganti dan arrosyidin bentuk jamak dari rosyd yang berarti memperoleh petunjuk (Ahmad Warson Munawwir, 1984). Berangkat dari arti bahasa maka kata Khulafaurrosyidin dapat diartikan dengan para pengganti rasulullah yang memperoleh petunjuk. Badri Yatim (1993) dalam buku Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, mengartikan kata Khulafaurrosyidin dengan “pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan Beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.”
Khulafaurrosyidin dimulai dari masa Abu Bakar sampai dengan masa Ali ibn Abi Thalib. Orang-orang yang masuk dalam khulafaurrosyidin merupakan sahabat Rasulullah SAW. saat masih hidup. Karenanya mereka sangat memahami semangat juang Rasulullah sebagai pembawa risalah ke-Islaman. Itulah yang mempengaruhi pola kepemimpinan khulafaurrosyidin saat menjabat.
Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Setelah periode ini, pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah rasyidah, tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan: mereka selalu bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain. Sedangkan khalifah-khalifah sesudahnya sering bertindak otoriter. (Badri Yatim, 1993)
Khulafaurrasyidin terdiri dari empat orang yakni Abu Bakar, Umar ibn Khottob, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib. Masing-masing masa lamanya memimpin kekhalifahannya bervariasi. Abu Bakar masa kekhalifahannya selama dua tahun (11-13 H/ 632-634 M). Umar ibn Khottob masa kekhalifahannya selama sepuluh tahun (13-23 H/ 634-644 M). Usman ibn Affan memimpin selama tiga belas tahun (23-35 H/ 644-655 M). Sedangkan Ali ibn Abi Thalib memerintah selama enam tahun (35-40 H/ 655-660 M).
Para khalifah tersebut memiliki prestasi masing-masing. Spesifik untuk penataan yang berkaitan hisbah (pengawasan) masing-masing khalifah memiliki perannya masing-masing. Nurcholis Madjid (1992) sebagaimana yang dikutip Marah Halim dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura periode Februari 2011, memaparkan peran khalifah yang berkaitan dengan hisbah adalah Pertama, Pada masa Abu Bakar, sistem pemerintahan masih me-lanjutkan Nabi. Munawir Syadzali mengatakan bahwa pada masa Abu Bakar kekuasaan masih “terpusat” di tangan khalifah. Kedua, Masa Umar ibn Khattab. Umar memiliki terobosan yang signifikan dalam me-misahkan kekuasaan menjadi tiga: al-sultah al-tasyri‘iyyah (legislatif) dipegang oleh Abu Bakar, al-sultah al-qada’iyyah (yudikatif), dan al-sultah altanfidhiyyah (eksekutif) dipegang oleh Umar sendiri dibantu oleh diwan-diwan. Dan al-sultah al-qada’iyyah (yudikatif) dipegang oleh Ali bin Abi Talib. Untuk hakim daerah, Umar mengangkat Abu Darda’ di Mekkah, Syurayh untuk Basrah, Abu Musa al-Asy‘ari untuk Kufah, dan ‘Uthman ibn Qays ibn Abi al-‘As untuk Mesir.
Marah Halim menambahkan, Umar mengangkat Sa‘ib Ibn Yazid dan ‘Abd Allah Ibn ‘Utbah sebagai muhtasib di Madinah. Dalam melaksanakan tugasnya, muhtasib dibantu oleh diwan al-ahdath (Departemen Kepolisian) yang tugas utamanya adalah menjaga keamanan. ‘Umar sendiri sering melakukan pengawasan secara langsung. Tugas muhtasib adalah mengawasi pasar dan ketertiban umum.
Al-Qalqashandī (w. 821 H/1418 M) menginformasikan bahwa khalifah kedua, ‘Umar ibn Khattab sebagai pemimpin yang membentuk institusi hisba. (Nicola Ziadeh, 1963). Kala itu hisbah dibentuk dengan struktur yang lebih sempurna. Umar melantik dan menetapkan Wilāyatul hisbah sebagai departemen pemerintahan yang resmi. Hisbah pada masa Umar bin Khatāb mempuyai peran penting dalam pengawasan pasar dan kegiatan yang dilakukan didalamnya, yaitu kegiatan ekonomi. Ibnu Saad telah meriwayatkan dari Az Zuhri bahwa Umar bin Khatāb telah mempekerjakan Abdullah bin ‘Utbah mengawasi dan memantau pasar. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr bahwa Umar kadangkala mempekerjakan Asyifa’ binti Abdullah ar-Qurasyiyah al-Adawiyah untuk mengurus sesuatu tentang urusan pasar. (Yusuf Qardhawi, 1997).
Ketiga, Pada masa Usman bin Affan. Periode Usman melanjutkan apa yang telah dibentuk Umar. Jabatan muhtasib dipercayakan kepada al-Harith Ibn al-‘As. Keempat, Pada masa Ali ibn Abi Talib. Ali sendiri melaksanakan tugas sebagai Muhtasib. Disamping dia juga mengangkat ‘Awrad Ibn Sa‘d sebagai muhtasib. Kebiasaan yang sama pernah dipraktekkan oleh Ali di Kufah ketika dia pindah dari Madinah.
PENGAWASAN PEMERINTAHAN
Apa yang dipaparkan di atas sebagai bukti bahwa tradisi hisbah (pengawasan pasar) di zaman khulafaurrosyidiin sudah ada. Jika mau ditelisik lebih jauh tradisi pengawasan terhadap pemerintahan juga telah ada. Terbukti pertama, di zaman khalifah Umar ibn Khattab telah membentuk sistem pemerintahan dengan distribusi kewenangan. Al-sultah al-tasyri‘iyyah (legislatif), al-sultah al-qada’iyyah (yudikatif), dan al-sultah altanfidhiyyah (eksekutif). Distribusi kewenangan inilah menjadi bukti ada tradisi saling mengawasi termasuk saling memberikan masukan. Kedua, pemilihan khalifah di era khulafaurrosyidiin melalui proses musyawarah (demokratis). Bahasa musyawarah sendiri merepresentasikan adanya saling memberi dan menerima pendapat. Hal itu jelas tersirat ada pekerjaan pengawasan. Kemudian dalam kepemimpinanpun jika dirasa ada sesuatu yang dianggap tidak sesuai maka ada perbaikan. Hal itu bisa dilihat antara lain saat khalifah Ali Ibn Abi Thalib memerintah. Di sana ada pergantian terhadap jabatan tertentu yang telah diangkat khalifah sebelumnya. Pergantian itu karena dianggap tidak sesuai. Tentu pergantian tersebut hasil dari pekerjaan pengawasan terhadap pemerintahan.
Ketiga, Khulafaurrosyidin tidak pernah bertindak sendiri ketika Negara menghadapi kesulitan; mereka selalu bermusyawarah dengan pembesar-pembesar lain. Ini menunjukkan ada pola pemerintahan dengan kehati-hatian. Kehati-hatian tersebut dengan memperhatikan pendapat lain dari para pembesar saat itu. Kehati-hatian tersebut tidak salah jika difahami dengan, karena adanya fungsi pengawasan terhadap pemerintahan waktu itu. Salah satu contoh khulafaurrosyidin mempertahankan musyawarah adalah saat Umar ibn Khattab di ujung akhir pemerintahannya hingga kemudian ada pergantian kekhalifahan setelah dia terbunuh. Umar menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali Ibn Abi Thalib.
Tradisi pengawasan dalam Islam telah berjalan sejak masa-masa awal, tentu pekerjaan pengawasan itu sendiri memiliki arti dalam dinamika tata kelola kehidupan banyak aspek. Karena itulah tidak salah dan menjadi strategis jika pekerjaan yang ada saat ini juga dilakukan pengawasan, termasuk pekerjaan pemilihan umum (pesta demokrasi). Wallahu a’lam.
Ikbal Faizal, Ketua Bawaslu Kab. Tegal