KERAJAAN DEMAK
Ketika menelisik sejarah perkembangan Islam di bumi Nusantara (Indonesia) maka tidak akan lepas dari sejarah Kerajaan Demak. Terlebih Demak merupakan kerajaan yang kala itu strategis pada momen Islam masuk ke pulau jawa. Bisa jadi masuknya Islam di Nusantara itulah diantara yang mempengaruhi kemunduran Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan sebelum Demak.
Analisis tersebut sejalan dengan Fadhilah sebagaimana dikutip M. Fazil Pamungkas dalam historia.id (2/1/2020), Masuknya Islam ke Nusantara mempengaruhi kemunduran Kerajaan Majapahit. Keruntuhan Kerajaan Majapahit diawali dengan kemunduran dalam bidang politik akibat dari pertikaian dalam keluarga kerajaan, yang akhirnya berpengaruh besar dalam bidang ekonomi dan sosial. Kerajaan yang kacau menjadi kesempatan bagi masyarakat yang ingin mendirikan kerajaan Islam.
Kerajaan Demak bernama Bintoro yang merupakan daerah vasal atau bawahan Kerajaan Majapahit. Kekuasaan pemerintahannya diberikan kepada Raden Fatah (dari kerajaan Majapahit) yang ibunya menganut agama Islam dan berasal dari Jeumpa (Daerah Pasai). Letak Demak sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada zaman dahulu wilayah Demak terletak di tepi selat di antara Pegunungan Muria dan Jawa.
Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik sehingga kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang. (Maryam, Tsaqofah & Tarikh Vol. 1 No. 1, Januari-Juni 2016: 64)
Soermarsaid Noertono sebagaimana dikutip Maryam (2016: 64-65) menjelaskan sudah sejak abad XVII jalan pintas itu tidak dapat dilayari setiap saat. Pada abad XVI agaknya Demak telah menjadi gudang padi dari daerah pertanian di tepian selat tersebut. Konon, kota Juwana merupakan pusat seperti itu bagi daerah tersebut pada sekitar 1500.
Tetapi pada sekitar 1513 Juwana dihancurkan dan dikosongkan oleh Gusti Patih, panglima besar Kerajaan Majapahit yang bukan Islam. Ini kiranya merupakan perlawanan terakhir kerajaan yang sudah tua itu. Setelah jatuhnya Juwana, Demak menjadi penguasa tunggal di sebelah selatan Pegunungan Muria. Yang menjadi penghubung antara Demak dan Daerah pedalaman di Jawa Tengah ialah Sungai Serang (dikenal juga dengan nama-nama lain), yang sekarang bermuara di Laut Jawa antara Demak dan Jepara. Hasil panen sawah di daerah Demak rupanya pada zaman dahulu pun sudah baik. Kesempatan untuk menyelenggarakan pengaliran cukup. Lagi pula, persediaan padi untuk kebutuhan sendiri dan untuk perdagangan masih dapat ditambah oleh para penguasa di Demak tanpa banyak susah, apabila mereka menguasai jalan penghubung di pedalaman Pegging dan Pajang.
RAJA- RAJA KERAJAAN DEMAK
Raja-raja Kerajaan Demak tercatat tidak begitu banyak. Mengingat setelah meninggalnya Sultan Trenggono ada perebutan kekuasaan untuk menjadi seorang raja. Kemudian saat dikuasi oleh Jaka Tingkir kemudian kerajaan diboyong ke Pajang. Diantara raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Demak adalah:
RADEN FATAH
Tentang Raden Fatah, Graaf sebagaimana dikutip oleh Maryam (2016: 68) menceritakan Dalam cerita tutur Jawa, Palembang mempunyai kedudukan penting sebagai tempat kelahiran tokoh legenda Raden Fatah, raja Islam pertama di Demak, dan saudara tirinya Kusen yang menjadi thanda di Terung, ibu mereka seorang wanita Cina. Rupaya ayah Raden Fatah adalah Prabu Brawijaya dari Majapahit, menurut cerita tutur Jawa, ayah kusen adalah Ario Damar atau Dillah, Raja Palembang.
Menurut Heroesoekarto sebagaimana dikutip oleh Maryam (2016: 68), Raden Fatah masih ada hubungan darah yang dekat dengan raja Majapahit, Brawijaya V. Raden Fatah resminya Putera adipati Palembang, Ario Damar dengan permaisuri putri Campa. Tetapi sebelum putri Campa menjadi permaisuri Adipati Palembang, terlebih dahulu sang puteri ini telah menjadi permaisuri Brawijaya V, pada waktu sang puteri ini sedang mengandung, pada suatu malam sang raja bermimpi mendukung matahari. Konon dikisahkan, kalau anak yang dikandungan nanti lahir laki-laki dia akan menjadi raja dan kalau lahir perempuan dia akan menjadi permaisuri raja. Oleh sebab itu sang prabu sangat khawatir. Apabila impian itu menjadi kenyataan, maka sang putri lalu diberikan pada Adipati Palembang.
Kerajaan Demak berdiri dilator belakangi oleh situasi Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh penguasa yang kurang tepat waktu itu. Darinya Raden Fattah melakukan reaksi terhadap keadaan yang ada.
Sebagaimana disampaikan Umma Farida dalam AT-TABSYIR: Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol. 3, No. 2 Desember (2015: 304), Setelah mendengar bahwa kerajaan Majapahit diserang dan dikuasai oleh penguasa zhalim, Girindra Wardhana, hingga akhirnya ayah beserta seluruh keluarga Sultan Fattah yang berada di Majapahit terpaksa mengungsi di Gunung Lawu, menjadikan Sultan Fattah bersemangat untuk menyerang balik Majapahit untuk membantu menyelamatkan keluarganya. Namun, serangan Sultan Fattah ke Majapahit gagal dan mengalami kekalahan. Sultan Fattah pun kembali ke Bintoro dan mengumpulkan kekuatan lagi bersama Walisongo. Pada serangkan kedua inilah Sultan Fattah memperoleh kemenangan dan berhasil menancapkan kekuasaan di Majapahit pada tahun 1481 M., sekaligus mendirikan kerajaan Demak.
Penobatan Sultan Fattah sebagai Raja Kesultanan Bintoro Demak dilaksanakan pada hari Senin Kliwon malam Selasa Legi bertepatan tanggal 11 malam 12 Rabi’ul Awwal 860 H atau 16 Mei 1482 M. Saat itu Sultan Fattah berusia 34 tahun, dan memperoleh gelar Sultan Fattah Syeikh Akbar Panembahan Jimbun Abdul rahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di Bintoro Demak (Muhammad Khafid, 2008: 66-67). Sultan Fattah wafat pada tahun 1518 M. di Demak Bintoro pada usia 70 tahun.
ADIPATI UNUS
Setelah Raden Fatah wafat, tahta Kerajaan Demak dilanjutkan oleh putra sulungnya yang bernama Adipati Unus. Dia memerintah Demak dari Tahun 1518-1521 M. Periode pemerintahan Adipati Unus relatif tidak lama, sebab dia meninggal dalam usia yang masih relatif muda. Adipati Unus tidak meninggalkan seorang putera mahkota. Dia meninggal saat melakukan peryerbuan ke Malaka untuk melawan Portugis.
Pada masa pemerintahannya, Adipati Unus berhasil mengadakan perluasan wilayah kerajaan. Dia juga menghilangkan Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu dimana saat itu sebagian wilayahnya menjalin kerjasama dengan orang-orang Portugis. Adipati Unus (Patih Yunus) wafat pada tahun 938 H/1521 M. (Maryam, 2016: 69)
SULTAN TRENGGANA
Sulltan Trenggana memerintah Demak dari tahun 1521-1546 M. Dibawah pemerintahannya, Kerajaan Demak mencapai masa kejayaan. Sultan Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga ke daerah Jawa Barat. (Maryam, 2016: 69)
Pada tahun 1522 M, Kerajaan Demak mengirim pasukannya ke Jawa Barat dibawah pimpinan Fatahillah. Daerah-daerah yang berhasil dikuasainya antara lain Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Penguasaan terhadap daerah ini bertujuan untuk menggagalkan hubungan antara Portugis dan Kerajaan Padjajaran. Armada Portugis dapat dihancurkan oleh armada Demak pimpinan Fatahillah. Dengan kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (berarti kemenangan penuh). Peristiwa yang terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M itu kemudian diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta. (Maryam, 2016: 69)
Dalam usaha memperluas kekuasaannya ke Jawa Timur, Sultan Trenggana memimpin sendiri pasukannya. Satu persatu daerah Jawa Timur berhasil dikuasai, seperti Maduin, Gresik, Tuban dan Malang. Akan tetapi, ketika menyerang Pasuruan 953 H/1546 M Sultan Trenggana gugur. Usahanya untuk memasukan kota pelabuhan yang kafir itu ke wilayahnya dengan kekerasan ternyata gagal. Dengan demikian, maka Sultan Trenggana berkuasa selama 42 tahun. Di masa jayanya, Sultan Trenggana berkunjung kepada Sunan Gunung Jati. Dari Sunan Gunung Jati, Trenggana memperoleh gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Gelar Islam seperti itu sebelumnya telah diberikan kepada Raden Fatah, yaitu setelah ia berhasil mengalahkan Majapahit. (Maryam, 2016: 69)
PENINGGALAN KERAJAAN DEMAK
Sebagai kerajaan yang pernah berdiri, Demak telah meninggalkan sesuatu yang menjadi bukti sejarah. Diantara Peninggalan Kerajaan Demak yang masih tersimpan di Museum Masjid Agung menurut Maryam (2016: 74,75), meliputi:
1. Soko Majapahit, tiang ini berjumlah delapan buah terletak di serambi masjid. Benda purbakala hadiah dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi ini diberikan kepada Raden Fattah ketika menjadi Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro Demak 1475 M.
2. Pawestren, merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jama’ah wanita. Dibuat menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap (genteng dari kayu) kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, di mana 4 diantaranya berhias ukiran motif Majapahit.
3. Surya Majapahit, merupakan gambar hiasan segi 8 yang sangat populer pada masa Majapahit. Para ahli purbakala menafsirkan gambar ini sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Surya Majapahit di Masjid Agung Demak dibuat pada tahun 1401 tahun Saka, atau 1479 M.
4. Maksurah, merupakan artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid. Artefak Maksurah didalamnya berukirkan tulisan arab yang intinya memulyakan ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M, di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat.
5. Pintu Bledeg, pintu yang konon diyakini mampu menangkal petir ini merupakan ciptaan Ki Ageng Selo pada zaman Wali. Peninggalan ini merupakan prasasti “Condro Sengkolo” yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H. (www.wpmeteorologist.com/2013/04/ beberapa-peninggalan-kerajaan-demak.html)
6. Mihrab atau tempat pengimaman, didalamnya terdapat hiasan gambar bulus yang merupakan prasasti “Condro Sengkolo”. Prasasti ini memiliki arti“Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M (hasil perumusan Ijtihad). Di depan Mihrab sebelah kanan terdapat mimbar untuk khotbah. Benda arkeolog ini dikenal dengan sebutan Dampar Kencono warisan dari Majapahit.
7. Dampar Kencana, benda arkeologi ini merupakan peninggalan Majapahit abad XV, sebagai hadiah untuk Raden Fattah Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya ke V Raden Kertabumi. Semenjak tahta Kasultanan Demak dipimpin Raden Trenggono 1521 – 1560 M, secara universal wilayah Nusantara menyatu dan masyhur, seolah mengulang kejayaan Patih Gajah Mada.
. Soko Tatal/Soko Guru, yang berjumlah 4 ini merupakan tiang utama penyangga kerangka atap masjid yang bersusun tiga. Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1630 cm. Formasi tata letak empat soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin. Yang berada di barat laut didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan Kalijaga Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal.
9. Situs Kolam Wudlu. Situs ini dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak sebagai tempat untuk berwudlu
10. Menara
WALISONGO
Di dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa walisongo (sembilan wali) adalah sembilan ulama yang merupakan pelopor dan pejuang pengembangan Islam (islamisasi) di Pulau Jawa pada abad kelima belas (masa Kesultanan Demak). Kata “wali” (Arab) antara lain berarti pembela, teman dekat dan pemimpin. Dalam pemakaiannya, wali biasanya diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah (Waliyullah). Sedangkan kata “songo” (Jawa) berarti sembilan. Maka walisongo secara umum diartikan sebagai sembilan wali yang dianggap telah dekat dengan Allah SWT, terus menerus beribadah kepada-Nya, serta memiliki kekeramatan dan kemampuan-kemampuan lain di luar kebiasaan manusia. (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid V, 1994:173)
MB. Rahimsah yang dikutip Tarwilah dalam Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 4 No.6 Oktober (2006: 82) menyampaikan Walisongo artinya sembilan wali, sebenarnya jumlahnya bukan hanya sembilan. Jika ada seorang walisongo meninggal dunia atau kembali ke negeri seberang, maka akan digantikan anggota baru. Songo atau sembilan adalah angka keramat, angka yang dianggap paling tinggi. Dewan dakwah tersebut sengaja dinamakan walisongo untuk menarik simpati rakyat yang pada waktu masih belum mengerti apa sebenarnya agama Islam itu.
Sedangkan Ashadi dalam Jurnal Arsitektur NALARs Volume 12 No 2 (Juli 2013: 3) menyampaikan: Mengapa harus menggunakan istilah Walisongo? Perkataan Wali dalam bahasa Arab bisa berarti orang yang mencintai atau orang yang dicintai. Wali dalam konteks ini sebenarnya kependekan dari Waliyullah artinya orang yang mencintai dan dicintai Allah. Ada pula yang mengartikan Wali dengan kedekatan. Sehingga Waliyullah berarti pula orang yang kedudukannya dekat dengan Allah SWT. Songo adalah bahasa Jawa yang berarti Sembilan. Tetapi ada pendapat bahwa kata Songo merupakan kerancuan dari pengucapan kata Sana yang dalam bahasa Jawa berhubungan dengan tempat tertentu. Untuk yang pertama, Wali Songo berarti Wali yang jumlahnya sembilan orang. Dan yang kedua, Wali Songo (Wali Sana), berarti Wali bagi suatu tempat tertentu. Kata Sana sendiri ada yang menduga berasal dari bahasa Arab Tsana yang berarti terpuji. Sehingga Wali Songo berarti Wali yang terpuji.
Ashadi (2013: 3) juga menambahkan Tokoh-tokoh Wali Songo yang dikenal luas oleh masyarakat Jawa, yaitu: Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat (Sunan Ampel), Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri), Raden Qosim (Sunan Drajat), Raden Syahid (Sunan Kalijogo), Raden Umar Said (Sunan Muria), Ja’far Shodiq (Sunan Kudus), dan Syeh Nurullah (Sunan Gunung Jati).
PENGAWASAN (TERSIRAT) WALISONGO
Dalam kerajaan demak walisongo memberikan warna tersendiri pada pemerintahan Kerajaan Demak. Segala sesuatu berkaitan dengan Kerajaan Demak memang banyak menunjukkan peran Walisongo. Dari hulu hingga hilir Walisongo hadir saat kerajaan demak berdiri. Peran Walisongo dalam Kerajaan Demak antara lain:
Pertama, awal berdirinya Kerajaan Demak.
Beberapa catatan yang membuktikan peran Walisongo saat awal berdirinya Kerajaan Demak adalah; Pertama, saat penyerangan kedua Raden Fattah ke Kerajaan Majapahit yang membuahkan kemenangan, tercatat dibantu oleh Walisongo. Dari kemenangan tersebut berdirilah Kerajaan Demak. Catatan tersebut dapat dilihat di Jurnal At-Tabsyir Vol. 3, No.2 Desember 2015 tulisannya Umma Farida. Kedua, Riddin Sofwan (1999: 15) mencatat Walisongo ikut berperang sebagai panglima, pengatur siasat dan penggerak massa. Terhadap tulisan tersebut Umma Farida (2015:305) menganggap dapat dimengerti mengingat Sultan Fattah merupakan murid dari Sunan Ampel. Dalam berguru tersebut, Sultan Fattah seusia dan seangkatan dengan Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, dan Sunan Kalijaga. Ketiga, Sunan Ampel tercatat sebagai perancang kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa dengan ibukota di Bintoro, Demak. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak, yang dipandang punya jasa paling besar dalam meletakkan peran politik umat Islam di nusantara. (Umma Farida, 2015: 85)
Kedua, saat berjalannya pemerintahan Kerajaan Demak
Setelah Kerajaan Demak berdiri, selanjutnya Raden Fattah sebagai Sultan mengangkat beberapa wali untuk membantu pemerintahan. Tercatat Sunan Kudus diangkat sebagai hakim (qadhi), Sunan Giri sebagai pemberi fatwa (mufti), dan Sunan Kalijaga sebagai anggota dewan penasehat. (Rachmad Abdullah, 2015: 115). Selain itu di bidang militer tercatat para wali pernah masuk ke dalam jajaran komandan tertinggi militer (manggala yudha), seperti Sunan Ngudung, Sunan Kudus, Pati Unus, dan Fatahillah. Adapun benteng pertahanan militer kesultanan Demak di fokuskan di daerah Betengan (Rachmad Abdullah, 2015: 139- 140).
Ketiga, melakukan pengawasan (tersirat)
Keterlibatan walisongo terhadap Kerajaan Demak menyeluruh (kaafah), secara structural telah dapat dilihat pada penjelasan sebelumnya. Secara non-structural walisongo memiliki peran yang relative besar sebagaimana Ridin Sofwan (1999: 15) mencatat bahwa para wali mengambil bagian dalam menentukan kebijakan pemerintahan dan ikut bertanggung jawab atas keamanan dan kesejahteraan negara.
Kebijakan, keamanan dan kesejahteraan merupakan simpul kata yang universal. Konsekwensinya juga bertanggung jawab terhadap sesuatu yang sifatnya parsial. Apa yang dijelaskan tersebut sejalan dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi “tashorufu-l-imam ‘ala ro’iyah manutun bi-l-mashlahah” (Tindakan pemimpin terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan).
Berangkat dari pemikiran tersebutlah dapat disimpulkan Walisongo selalu melakukan pengawasan kepada Kerajaan Demak. Hasil pengawasan itu akan disampaikan jika memang dirasa ada sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat Islam (agama yang dibawa oleh Walisongo). Hanya memang raja yang tercatat pernah memimpin di Kerajaan Demak banyak mendukung penyebaran Islam sehingga dianggap sejalan dengan ajaran Islam.
Wajar jika kemudian para wali juga memiliki fungsi pengawasan pada kerajaan demak. Meskipun tidak disebutkan secara jelas tentang fungsi pengawasan dari para wali. Namun, paling tidak apa yang dilakukan oleh para raja di kerajaan demak akan merasa diawasi oleh para wali sehingga dalam melakukan kerja-kerjanya menjadi penuh kehati-hatian. Wallahu a’lam.
Ikbal Faizal, Ketua Bawaslu Kab. Tegal.