Mandi wajib bagi seorang muslim menjadi salah satu ibadah yang bisa dibilang penting. Pasalnya saat seseorang wanita masih dalam keadaan junub, lalu dia mandi tanpa mengetahui tata cara mandi wajib, dikhawatirkan ia masih dalam keadaan junub meskipun sudah mandi pakai sabun dan shampo paling terkenal, kalau dia sholat maka sholatnya dikhawatirkan tidak syah.
Lalu bagaimanakah Cara mandi wajib yang benar bagi seorang wanita?. Simak penjelasan berikut:
Sebab-sebab Wanita Wajib Mandi
Yang menyebabkan wanita wajib mandi ada 6 sebab:
- Sebab bersetubuh, walaupun tidak keluar mani.
- Sebab keluar mani, walaupun tidak bersetubuh.
- Sebab meninggal dunia, kecuali mati syahid dan mati karena udzur seperti mati terbakar dan sejenisnya.
- Sebab mengeluarkan darah haid.
- Sebab mengeluarkan darah nifas.
- Sebab melahirkan anak (wiladah), meskipun belum membentuk rupa manusia seperti masih berupa segumpal darah atau segumpal daging.
(Lihat dalam Fath al-Qarib hal. 6, Hushn al-Mathalib hal. 67 dan Kasyifat as-Saja hal. 24).
Rukun-rukun Mandi Wajib
Rukun-rukun atau fardhu mandi wajib ada 3:
- Niat untuk menghilangkan janabat, haid, nifas atau wiladah bersamaan dengan mengguyurkan air ke sebagian anggota badan, misal wajah atau yang lain.
- Meratakan air ke seluruh kulit tubuh dan rambut. Maka bagi wanita yang rambutnya digelung jika air tidak bisa sampai dan merata kedalamnya, diwajibkan mengurai rambutnya. Kemudian ketika meratakan air ke seluruh lekuk-lekuk tubuh, wanita yang mandi wajib tidak cukup dengan posisi berdiri, tetapi harus duduk sekira air merata ke seluruh tubuh dan rambut.
- Menghilangkan najis dengan air, bila dalam tubuhnya terdapat najis yang nyata. Keterangan ini yang dianggap baik oleh Imam Rafi’i. Oleh karena itu tidak cukup membasuh satu kali untuk menghilangkan hadats dan sekaligus najis, kecuali najis hukmiyah.
(Lihat dalam Ri’ayat al-Himmat juz 1 hal. 151-152).
Syarat-Syarat Sah Mandi Wajib
Syarat-syarat sahnya mandi wajib ada 9:
- Islam.
- Tamyiz (berakal sehat, dapat membedakan antara malam dengan siang, atas dengan bawah, suci dengan najis).
- Mengetahui rukun-rukun mandi wajib.
- Air yang digunakan harus dengan air yang suci-mensucikan (thahir-muthahir).
- Tidak ada sesuatu yang menghalangi sampainya air ke seluruh kulit tubuh.
- Kekal niatnya sampai pada akhir sempurnanya mandi wajib.
- Tidak ada sesuatu yang dapat merubah sifat-sifat air.
- Penggunaan air dengan cara dialirkan ke seluruh anggota tubuh.
- Sudah berhenti dari darah haid, nifas maupun wiladah.
Mandi wajib bagi orang yang kekal hadatsnya (daimul hadats), syaratnya ditambah 2 lagi; mandi dilakukan setelah masuk waktu salat dan mandi harus segera dilaksanakan dengan segera.
(Lihat dalam Minhaj al-Qawim hal. 14 dan Ri’ayat al-Himmah juz 1 hal. 147-148).
Problematika Penting Wanita Seputar Mandi Wajib
- Usai bersetubuh dengan suaminya, si wanita melakukan mandi wajib. Setelah mandi wajib ternyata dari vaginanya keluar mani si suami. Apakah mandinya wajib diulang? Jawabannya: Apabila si wanita ketika disetubuhi suaminya dalam keadaan syahwat, maka ia diwajibkan untuk mandi lagi, karena mani yang keluar adalah campuran antara air maninya sendiri dengan mani suaminya. Akan tetapi apabila si wanita ketika disetubuhi tidak bersyahwat, misal sedang tidur nyenyak, maka ia tidak diwajibkan mandi lagi, karena yang keluar hanya maninya suami. (Lihat dalam Kasyifat as-Saja hal. 22).
- Jika seorang wanita saat mengeluarkan darah haid terputus-putus, apakah diwajibkan mandi? Jawabannya: Apabila dalam mengeluarkan darah belum mencapai 24 jam, maka ia belum diwajibkan mandi. Dan apabila ia mengeluarkan darah sudah mencapai 24 jam, maka sewaktu-waktu darahnya berhenti ia sudah dihukumi suci dari haid, yakni sudah diwajibkan mandi, salat, puasa serta sudah halal disetubuhi suaminya. Kemudian kalau ternyata darahnya keluar lagi, maka kenyataan mandi, salat dan puasanya tidak sah, karena sebenarnya ia masih dalam masa haid. Oleh karena itu nantinya ia diwajibkan mengqadha puasa yang dikerjakan saat berhentinya itu. Ia tidak berdosa melakukan persetubuhan di dalam masa berhentinya itu, walaupun sejatinya masih dalam masa haid, karena hanya melihat pada dzahirnya saja. Selanjutnya, sewaktu-waktu darahnya berhenti lagi, maka ia dihukumi suci lagi. Dan apabila darahnya kembali keluar lagi, maka kenyataannya ia masih di dalam masa haid. Demikian seterusnya, selama belum lebih dari 15 hari-15 malam. (Lihat dalam al-Jamal ‘ala Syarh al-Minhaj: 1/226).