Adiwerna_NU Tegal-
Upaya mencegah penyebaran paham radikalisme harus dilakukan dari mulai tingkat pedesaan. Hal ini mengingat pemuda-pemuda desa juga menjadi target propaganda kelompok-kelompok radikal bahkan oleh kaum teroris. Apalagi, sejumlah pelaku aksi teror dan bom bunuh diri kebanyakan berusia antara 20 sampai 31 tahun.
“Para pemuda desa yang saat ini sudah akrab dengan perangkat teknologi informasi dan kerap berselancar di media sosial menjadi incaran kaum radikal. Jika tanpa wawasan nasional yang cukup maka mereka sangat mudah terpapar,” tutur Hj. Faiqoh, S.Ag, MH saat menjadi pembicara pada kegiatan Sosialisasi Pencegahan Paham Radikalisme di Balai Desa Harjosari Lor, Adiwerna, baru-baru ini.
Acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Harjosari Lor tersebut menghadirkan tiga orang narasumber; antara lain Hj Faiqoh, S Ag, MH dari KUA Adiwerna, M. Shafei Pahlevi dari ormas Pegiat Budaya dan Spiritualitas, dan Aiptu Muhadi, SH dari Polsek Adiwerna.
Kepala Desa Harjosari Lor Satriyo Adi Heryanto mengatakan, kegiatan sosialisasi pencegahan paham radikalisme dimaksudkan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat tentang bahaya paham ekstrim tersebut. Pada kesempatan itu pihaknya mengundang segenap tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk menjadi peserta.
Pada sesie tanya jawab, Aiptu Muhadi, SH selaku narasumber dari unsur Polri menegaskan bahwa pihak kepolisian melakukan upaya preventif dalam mewasdai gerakan radikalime, selain itu ada juga upaya penindakan manakala ditemukan adanya pelanggaran hukum.
“Kami juga ditugaskan untuk memantau ujaran-ujaran kebencian yang mengarah kepada ajakan perbuatan radikal, baik yang dilakukan melalui media sosial maupun ceramah-ceramah umum,” ungkap Aiptu Muhadi.
Sementara, M. Shafei Pahlevi lebih menyorot kepada timbulnya gejala-gejala paham radikal itu pada 4 hal, yakni; sikap intoleran, fanatik, eksklusif dan revolusioner. Gejala tersebut timbul karena minimnya wawasan kebangsaan sehingga mudah terpapar sebaran paham radikal.
“Kelompok radikal itu ada yang kanan dan ada yang kiri. Radikal kanan itu mereka yang mengusung radikalisme melalui dogma agama. Sedangkan radikal kiri cenderung menggunakan isu-isu politik tahun 60an. Mereka mungkin bagian dari sisa-sisa gerakan komunisme. Semua itu masih masif melakukan propaganda melalui media sosial,” ujar Shafei.
Pekerjaan rumah kita saat ini, masih kata dia, adalah memberikan pemahaman yang komprehensif tentang kebangsaan dan keindonesiaan. Upaya ini harus melibatkan semua komponen, dari mulai tokoh pemuda, tokoh masyarakat, tokoh agama maupun melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan. ***
Redaktur