Rombongan Grand Syaikh al-Azhar Ahmad Muhammad ath-Thayyib pada Rabu (2/5/2018) berkunjung ke kantor PBNU Jl. Kramat No. 164 Jakarta Pusat. Sebelumnya Grand Syaikh datang ke istana negara menemui Presiden Joko Widodo. Grand Syaikh tiba sebelum pukul enam sore dan ditemui Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA di aula KH. Hasyim Asy’ari PBNU. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin turut menyambut rombongan.
Kehadiran Grand Syaikh al-Azhar bagi Indonesia menjadi momen penting untuk saling bertukar pikiran dan saling mengingatkan tentang problem dunia muslim saat ini. PBNU berharap, posisinya yang sangat penting di Timur Tengah, setidaknya di Mesir, bermanfaat untuk mendiseminasi pemikiran-pemikiran Islam wasathiyah atau moderat ala Nusantara, sebagai inspirasi gagasan bagi peradaban yang lebih damai.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siroj menyatakan bahwa perjuangan Nahdlatul Ulama sejalan dengan al-Azhar. Kesamaan itu dilihat dari penyampaian Grand Syaikh al-Azhar Ahmad Muhammad Ahmad ath-Thayyib, al-Azhar merupakan bentengnya Islam Ahlussunnah wal Jamaah sehingga memperkuat perjuangan NU di dunia global.
“Beliau menegaskan al-Azhar itu bentengnya Islam Ahlussunnah wal Jamaah, Islam yang moderat, antiradikal, antiekstrem, apalagi sampai teror. Sama dengan NU,” kata Kiai Said dalam dialog terbuka dengan Grand Syaikh al-Azhar Syaikh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyib di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (02/05/2018).
Lebih lanjut, Kiai Said mengungkapkan dalam bidang teologi juga sama, yakni menganut paham Asy’ari. “Bahkan dirinci juga dalam teologi bermazhab Abu al-Hasan al-Asy’ari. Sama dengan NU,” ujarnya.
Selain itu, terkait khilafah, Al-Azhar juga seirama dengan NU. Kiai Said mengutip pernyataan Grand Syaikh, bahwa umat Islam harus bersama pendapat yang banyak. Sementara mayoritasnya menolak hal tersebut. “Semua mayoritas umat Islam menolak khilafah. Ikut mana yang paling mayoritas,” tegasnya dalam dialog bertajuk Islam Nusantara untuk Perdamaian Dunia.
Grand Syaikh al-Azhar Prof. Dr. Syaikh Ahmad Muhammad Ahmad ath-Thayyib dalam diolog dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, menyatakan bahwa diantara penyebab perpecahan adalah mudah mengkafirkan orang lain.
“Tidak boleh kita mengkafirkan orang yang salatnya seperti kita, kiblatnya ke arah Ka’bah Makkah, hajinya ke Makkah, tidak boleh dikafirkan oleh siapapun,” kata Syaikh Ahmad diterjemahkan oleh Kiai Said.
Menurutnya, yang salah adalah yang mengatakan, “hanya saya yang Islam, kamu salah. Oleh karena itu, nanti Allah akan mempertanyakan di hari akhirat apakah kamu berjuang, apa tidak berjuang untuk mengembalikan aliran-aliran sesat untuk menjadi benar itu.”
Kiai Said mengungkapkan kata Syaikh Ahmad, menyatakan bahwa al-Azhar jelas sekali melawan monopoli kebenaran itu dan anti terhadap orang yang mengkafirkan.
Grand Syaikh al-Azhar Ahmad Muhammad Ahmad ath-Thayyib juga mengatakan, politisasi agama harus dilawan bersama. Pasalnya, politisasi agama berdampak pada kerusakan sosial-politik yang mengancam keutuhan masyarakat itu sendiri. “Kita harus melihat bahaya terkait praktik politisasi agama,” kata Ahmad ath-Thayyib.
Menurutnya, praktik politisasi agama dilakukan oleh politisi yang memiliki tujuan buruk. Para politisi yang memiliki niat buruk tidak segan-segan untuk menggunakan cara yang buruk untuk mewujudkan kepentingan politiknya.
“Norma-norma agama seharusnya menjadikan politik lebih baik,” lanjut Ahmad Ath-Thayyib.
Tetapi sebagian politisi justru memanfaatkan simbol-simbol agama untuk kepentingan politiknya.
Disamping membicarakan perihal problematika dunia saat ini, pertemuan tersebut juga membicarakan beasiswa bagi Nahdliyin. Grand Syaikh memberikan 80 beasiswa dengan 20 diantaranya pada bidang keilmuan umum. Ia juga berharap 20 penerima beasiswa tersebut adalah perempuan. “Itu direct (langsung) antara Al-Azhar dengan NU, tidak melalui Kementerian Agama,” pungkasnya. (Syaroni As-Samfuriy)